Sabtu, 05 Januari 2013

Merosotnya Prestasi Timnas : Salah Siapa?


Miris, mungkin itu salah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini. Kegagalan total dalam mengikuti ajang AFF Cup 2012 tahun ini merupakan salah satu bentuknya. Dalam ajang AFF tahun ini, Timnas Indonesia hanya mampu meraih satu kali kemenangan, satu kali imbang dan satu kali kalah. Prestasi ini merupakan yang terburuk bagi Timnas Indonesia di sepanjang keikutsertaannya di AFF Cup (dulu bernama Piala Tiger). Walaupun tak pernah juara, setidaknya pencapaian Timnas Indonesia pada AFF yang lalu cukup bagus yaitu empat kali runner up. Masing-masing tahun 2000, 2002, 2004 dan 2010. Kegagalan di fase penyisihan grup ini merupakan salah satu yang terburuk setelah AFF tahun 2007, sebelumnya pada tahun 2007 Timnas juga tidak lolos dari penyisihan. Namun berbeda karena pada tahun 2007 Timnas tidak lolos karena kalah dalam selisih gol, sedangkan pada AFF tahun ini karena perbedaan poin.

Hal yang paling menarik adalah bahwa kegagalan Timnas pada ajang AFF Cup tahun ini bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya kekisruhan dalam persepakbolaan Indonesia, yaitu  perseteruan antara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pimpinan Djohar Arifin Husein dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang dikomandani oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti. Sebelum AFF Cup 2012 digelar, kedua pengurus membentuk Timnas sendiri-sendiri. Timnas versi PSSI sebagian besar terdiri dari pemain yang ikut berkompetisi di Indonesia Premiere League (IPL) sedangkan Timnas versi KPSI terdiri dari pemain yang mengikuti kompetisi Indonesia Super League (ISL). Namun Timnas versi KPSI mundur setelah AFF (ASEAN Football Federation) menyatakan bahwa yang berhak mengikuti AFF Cup 2012 adalah Timnas versi PSSI Djohar Arifin Husein. Tidak disahkannnya Timnas versi KPSI ini justru menjadi petaka bagi Indonesia karena KPSI sempat tidak mengizinkan pemain-pemainnya untuk membela Timnas yang berlaga untuk AFF Cup 2012. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Timnas Indonesia yang berlaga pada AFF Cup 2012 bukan merupakan kekuatan Timnas sesungguhnya.

Apabila kita sedikit menarik benang merah ke belakang, sebenarnya perseteruan antara PSSI dan KPSI muncul ke permukaan ketika bagaimana menentukan format kompetisi pasca penggulingan Nurdin Halid dari kursi Ketua Umum PSSI. Saat itu, Komite Eksekutif PSSI menetapkan kompetisi 2011-2012 diikuti 24 klub, dalam format Indonesia Premiere League (IPL). IPL berbeda dari Liga Primer Indonesia (LPI) yang pernah dibentuk Arifin Panigoro pada musim kompetisi 2010-2011 sebagai tandingan Indonesia Super League milik PSSI era Nurdin Halid. Ketika menentukan format kompetisi, pihak La Nyalla bersikukuh bahwa liga harus diikuti 18 klub, sesuai dengan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo, Jawa Tengah, 9 Juli 2011. Sedangkan kubu Djohar menyatakan, KLB Solo tidak menentukan liga harus diikuti 18 klub. Pihak La Nyalla, yang dianggap sebagai orang kepercayaan Nirwan Bakrie, kukuh mempertahankan liga di bawah pengelolaan PT Liga Indonesia (LI). Dalam Kongres PSSI di Bali pada 2011, diam-diam PT LI mengambil alih 99% saham PSSI di PT LI dan menyisakan 1% saham saja milik PSSI. Inilah yang dijadikan alasan CEO PT LI, Djoko Driyono, menolak permintaan PSSI untuk mengadakan RUPS dan menyerahkan laporan keuangan PT LI ke PSSI.

Selanjutnya, karena penolakan format kompetisi baru yang dinyatakan oleh La Nyalla akhirnya PSSI mencabut mandat PT LI dan membentuk PT Liga Prima Indonesia Sportindo untuk menggulirkan IPL yang diikuti 16 klub. Di sisi lain, PT LI yang merasa masih memiliki 99% saham liga jalan sendiri dengan format ISL yang diikuti 18 klub. Dualisme kompetisi pun terjadi, yang kemudian diikuti dualisme kepengurusan sepakbola. La Nyalla dan tiga exco PSSI yang dipecat menggelar KLB Ancol dan membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) sebagai tandingan PSSI. Dua kompetisi itu pun menginduk ke masing-masing organisasi tersebut. IPL bergulir di bawah naungan PSSI yang disokong Arifin Panigoro, sedangkan ISL bergulir karena dukungan mantan Wakil Ketua Umum PSSI, Nirwan Bakrie. Bahkan pertandingan ISL saat itu disiarkan langsung oleh ANTV, stasiun layar kaca milik keluarga Bakrie. Sangat jelas bahwa dalam hal ini ranah politik sudah memasuki dan menggerogoti persepakbolaan Indonesia.

Berbagai cara dilakukan untuk mendamaikan keduanya, mulai dari usaha perdamaian yang dilakukan oleh FIFA dan AFC di Kuala Lumpur yang menghasilkan nota kesepahaman (MoU). Dalam MoU itu disebutkan, PSSI setuju mengembalikan empat orang yang didepak dari PSSI, yaitu anggota komite eksekutif : La Nyalla Mattalitti, Roberto Rouw, Erwin Dwi Budiawan dan Tony Aprilani. ISL setuju segera di bawah yurisdiksi PSSI, khususnya terkait masalah disiplin, administrasi dan transfer pemain serta pengangkatan ofisial pertandingan. Kedua belah pihak juga menyetujui, KPSI akan dibubarkan setelah Kongres PSSI yang akan datang. Mereka pun setuju membentuk Joint Committee PSSI, yang terdiri dari anggota masing-masing pihak guna mengevaluasi IPL dan ISL untuk menciptakan hanya satu liga sepak bola di Indonesia. Namun seakan semua yang dilakukan sia-sia karena sampai saat ini masih terjadi kekisruhan dalam persepakbolaan Indonesia. Bahkan kekisruhan terakhir yang terjadi adalah ketika kedua belah pihak melaksanakan kongres untuk memajukan sepakbola nasional pada hari Senin, 10 Desember 12 kemarin di tempat yang berbeda. PSSI hasil Kongres Luar Biasa Ancol pimpinan La Nyalla Mattalitti menggelar kongres di Ballroom Hotel Sultan Jakarta dengan dihadiri  oleh 83 pemilik suara (voter) hasil KLB Solo, 9 Juli 2011. Sedangkan PSSI pimpinan Djohar Arifin Husein menggelarnya di Hotel Aquarius Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang dihadiri juga oleh pihak FIFA dan AFC. Namun kongres PSSI pimpinan Djohar Arifin ini mengalami sedikit masalah karena tidak diperbolehkan masuk oleh pihak Polda setempat karena tidak ada rekomendasi dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun mereka tetap menggelar kongres di lobi hotel dan menghasilkan keputusan yaitu pembatalan nota kesepahaman (MoU) dengan KPSI dan membubarkan Joint Committee. FIFA sempat mengancam akan memberikan sanksi kepada Indonesia apabila tidak mampu menyelesaikan kekisruhan, namun akhirnya berdasarkan hasil rapat Komite Eksekutif FIFA di Jepang pada hari Jum’at, 14 Desember 2012 kemarin sanksi itu ditunda dan diberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut selama tiga bulan. Hasil dari sidang Komite Eksekutif FIFA tersebut adalah yang pertama, menyerahkan penyelesaian dualisme induk sepakbola Indonesia kepada AFC. Yang kedua adalah Exco (Komite Eksekutif) FIFA akan menggelar rapat lagi pada 13 Februari 2013 dan yang terakhir adalah memberikan deadline (batas waktu) kepada PSSI untuk menyelesaikan dualisme induk sepakbola Indonesia pada 30 Maret 2013.

Sebenarnya masalah dualisme itu bukannya tidak bisa diselesaikan, namun karena kedua belah pihak yaitu PSSI dan KPSI sama-sama egois dan merasa bahwa mereka masing-masing yang paling benar maka sangat sulit untuk mendamaikannya. Mereka hanya mementingkan kepentingan masing-masing dan tidak menghiraukan masalah yang ditimbulkannya. Apabila sudah seperti ini maka yang dirugikan adalah masyarakat, masyarakat yang rindu akan prestasi Timnas Indonesia Sudah semestinya PSSI dan KPSI bersatu untuk membentuk Timnas yang tangguh. Kemudian pengusaha besar yang punya komitmen terhadap perkembangan sepakbola nasional, seperti Nirwan Bakrie yang notabenenya adalah orang dibalik KPSI dan Arifin Panigoro yang sangat pro dengan PSSI Djohar Arifin Husein sudah seharusnya bergandeng tangan demi memajukan sepakbola Indonesia, bukan malah memanfaatkan sepakbola sebagai lahan bisnis maupun kepentingan politik.