Selasa, 01 April 2014

Sikap Rendah Hati dan Sederhana

Sekalipun engkau hidup berlimpahan dan berkecukupan dana, tetaplah hidup dengan sederhana. Tidaklah sulit menciptakan sifat yang baik yaitu sikap rendah hati dan sederhana. Orang yang memiliki sikap rendah hati selalu berusaha menjadi pribadi yang bisa menerima orang lain, tidak sombong, atau terlalu memperlihatkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki.

Tidak usahlah kita risaukan, jika orang lain tidak tahu apa yang kita miliki atau seberapa tinggi kemampuan kita melakukan segala sesuatu. Orang lain bisa menilai 'kualitas seseorang' hanya dengan melihat sikap, tutur kata, dan perilaku sehari-hari yang kita lakukan.

Dengan bersikap rendah hati, berarti kita telah menjaga diri kita sendiri. Dengan bersikap rendah hati, berarti kita telah menempatkan diri di posisi yang nyaman, tenang, damai dan tentram. Jika hati sudah merasa nyaman, damai dan tentram, maka secara otomatis Anda akan tampak bersahaja dan bahagia.  Bukankah itu yang kita inginkan? Marilah kita bersikap rendah hati, dan membiasakan diri, untuk selalu hidup sederhana.


Senin, 03 Maret 2014

Melangkah dari Masa Lalu

Jika Anda mengalami trauma pada masa lalu yang begitu membekas. Trauma ini lantas Anda gunakan sebagai 'kambing hitam' atas keterpurukan Anda saat ini.  Anda terus terikat dengannya, meski itu menyakitkan.

Bila Anda tak bisa lepas dari trauma,  maka coba tanyakanlah hal ini pada diri  Anda :

"Berapa banyak luka lagi yang akan saya biarkan diderita oleh diri saya sendiri? Apakah trauma ini pantas menghancurkan seluruh sisa hidup saya? Siapa yang berkuasa disini, diri saya ataukah trauma?"

Perhatikanlah daun-daun yang mati dan berguguran dari pohon, ia sebenarnya memberikan hidup baru pada pohon. Bahkan sel-sel dalam tubuh kita pun selalu memperbaharui diri. Segala sesuatu di alam ini memberikan jalan kepada kehidupan yang baru dan membuang yang lama. Satu-satunya yang kita gunakan untuk melangkah dari masa lalu adalah pikiran kita sendiri.

Beban berat masa lalu, dibawa dari hari ke hari. Berubah menjadi ketakutan dan kecemasan, yang kemudian pada akhirnya akan menghancurkan hidup Anda sendiri. Ingatlah hanya seorang pemenanglah yang bisa melihat potensi, sementara seorang pecundang sibuk mengingat masa lalu.

Bila kita sibuk menghabiskan waktu dan energi kita memikirkan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, maka kita tidak memiliki hari ini untuk disyukuri. Saat kita merasa sedih dan putus asa, atau bahkan menderita, coba renungkan keadaan di sekitar kita. Barangkali masih banyak yang lebih parah dibandingkan kita? Tetaplah tegar dan percaya diri, berpikir positif dan optimis, berjuang terus, dan pantang mundur.

Sabtu, 05 Januari 2013

Merosotnya Prestasi Timnas : Salah Siapa?


Miris, mungkin itu salah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini. Kegagalan total dalam mengikuti ajang AFF Cup 2012 tahun ini merupakan salah satu bentuknya. Dalam ajang AFF tahun ini, Timnas Indonesia hanya mampu meraih satu kali kemenangan, satu kali imbang dan satu kali kalah. Prestasi ini merupakan yang terburuk bagi Timnas Indonesia di sepanjang keikutsertaannya di AFF Cup (dulu bernama Piala Tiger). Walaupun tak pernah juara, setidaknya pencapaian Timnas Indonesia pada AFF yang lalu cukup bagus yaitu empat kali runner up. Masing-masing tahun 2000, 2002, 2004 dan 2010. Kegagalan di fase penyisihan grup ini merupakan salah satu yang terburuk setelah AFF tahun 2007, sebelumnya pada tahun 2007 Timnas juga tidak lolos dari penyisihan. Namun berbeda karena pada tahun 2007 Timnas tidak lolos karena kalah dalam selisih gol, sedangkan pada AFF tahun ini karena perbedaan poin.

Hal yang paling menarik adalah bahwa kegagalan Timnas pada ajang AFF Cup tahun ini bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya kekisruhan dalam persepakbolaan Indonesia, yaitu  perseteruan antara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pimpinan Djohar Arifin Husein dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang dikomandani oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti. Sebelum AFF Cup 2012 digelar, kedua pengurus membentuk Timnas sendiri-sendiri. Timnas versi PSSI sebagian besar terdiri dari pemain yang ikut berkompetisi di Indonesia Premiere League (IPL) sedangkan Timnas versi KPSI terdiri dari pemain yang mengikuti kompetisi Indonesia Super League (ISL). Namun Timnas versi KPSI mundur setelah AFF (ASEAN Football Federation) menyatakan bahwa yang berhak mengikuti AFF Cup 2012 adalah Timnas versi PSSI Djohar Arifin Husein. Tidak disahkannnya Timnas versi KPSI ini justru menjadi petaka bagi Indonesia karena KPSI sempat tidak mengizinkan pemain-pemainnya untuk membela Timnas yang berlaga untuk AFF Cup 2012. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Timnas Indonesia yang berlaga pada AFF Cup 2012 bukan merupakan kekuatan Timnas sesungguhnya.

Apabila kita sedikit menarik benang merah ke belakang, sebenarnya perseteruan antara PSSI dan KPSI muncul ke permukaan ketika bagaimana menentukan format kompetisi pasca penggulingan Nurdin Halid dari kursi Ketua Umum PSSI. Saat itu, Komite Eksekutif PSSI menetapkan kompetisi 2011-2012 diikuti 24 klub, dalam format Indonesia Premiere League (IPL). IPL berbeda dari Liga Primer Indonesia (LPI) yang pernah dibentuk Arifin Panigoro pada musim kompetisi 2010-2011 sebagai tandingan Indonesia Super League milik PSSI era Nurdin Halid. Ketika menentukan format kompetisi, pihak La Nyalla bersikukuh bahwa liga harus diikuti 18 klub, sesuai dengan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo, Jawa Tengah, 9 Juli 2011. Sedangkan kubu Djohar menyatakan, KLB Solo tidak menentukan liga harus diikuti 18 klub. Pihak La Nyalla, yang dianggap sebagai orang kepercayaan Nirwan Bakrie, kukuh mempertahankan liga di bawah pengelolaan PT Liga Indonesia (LI). Dalam Kongres PSSI di Bali pada 2011, diam-diam PT LI mengambil alih 99% saham PSSI di PT LI dan menyisakan 1% saham saja milik PSSI. Inilah yang dijadikan alasan CEO PT LI, Djoko Driyono, menolak permintaan PSSI untuk mengadakan RUPS dan menyerahkan laporan keuangan PT LI ke PSSI.

Selanjutnya, karena penolakan format kompetisi baru yang dinyatakan oleh La Nyalla akhirnya PSSI mencabut mandat PT LI dan membentuk PT Liga Prima Indonesia Sportindo untuk menggulirkan IPL yang diikuti 16 klub. Di sisi lain, PT LI yang merasa masih memiliki 99% saham liga jalan sendiri dengan format ISL yang diikuti 18 klub. Dualisme kompetisi pun terjadi, yang kemudian diikuti dualisme kepengurusan sepakbola. La Nyalla dan tiga exco PSSI yang dipecat menggelar KLB Ancol dan membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) sebagai tandingan PSSI. Dua kompetisi itu pun menginduk ke masing-masing organisasi tersebut. IPL bergulir di bawah naungan PSSI yang disokong Arifin Panigoro, sedangkan ISL bergulir karena dukungan mantan Wakil Ketua Umum PSSI, Nirwan Bakrie. Bahkan pertandingan ISL saat itu disiarkan langsung oleh ANTV, stasiun layar kaca milik keluarga Bakrie. Sangat jelas bahwa dalam hal ini ranah politik sudah memasuki dan menggerogoti persepakbolaan Indonesia.

Berbagai cara dilakukan untuk mendamaikan keduanya, mulai dari usaha perdamaian yang dilakukan oleh FIFA dan AFC di Kuala Lumpur yang menghasilkan nota kesepahaman (MoU). Dalam MoU itu disebutkan, PSSI setuju mengembalikan empat orang yang didepak dari PSSI, yaitu anggota komite eksekutif : La Nyalla Mattalitti, Roberto Rouw, Erwin Dwi Budiawan dan Tony Aprilani. ISL setuju segera di bawah yurisdiksi PSSI, khususnya terkait masalah disiplin, administrasi dan transfer pemain serta pengangkatan ofisial pertandingan. Kedua belah pihak juga menyetujui, KPSI akan dibubarkan setelah Kongres PSSI yang akan datang. Mereka pun setuju membentuk Joint Committee PSSI, yang terdiri dari anggota masing-masing pihak guna mengevaluasi IPL dan ISL untuk menciptakan hanya satu liga sepak bola di Indonesia. Namun seakan semua yang dilakukan sia-sia karena sampai saat ini masih terjadi kekisruhan dalam persepakbolaan Indonesia. Bahkan kekisruhan terakhir yang terjadi adalah ketika kedua belah pihak melaksanakan kongres untuk memajukan sepakbola nasional pada hari Senin, 10 Desember 12 kemarin di tempat yang berbeda. PSSI hasil Kongres Luar Biasa Ancol pimpinan La Nyalla Mattalitti menggelar kongres di Ballroom Hotel Sultan Jakarta dengan dihadiri  oleh 83 pemilik suara (voter) hasil KLB Solo, 9 Juli 2011. Sedangkan PSSI pimpinan Djohar Arifin Husein menggelarnya di Hotel Aquarius Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang dihadiri juga oleh pihak FIFA dan AFC. Namun kongres PSSI pimpinan Djohar Arifin ini mengalami sedikit masalah karena tidak diperbolehkan masuk oleh pihak Polda setempat karena tidak ada rekomendasi dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun mereka tetap menggelar kongres di lobi hotel dan menghasilkan keputusan yaitu pembatalan nota kesepahaman (MoU) dengan KPSI dan membubarkan Joint Committee. FIFA sempat mengancam akan memberikan sanksi kepada Indonesia apabila tidak mampu menyelesaikan kekisruhan, namun akhirnya berdasarkan hasil rapat Komite Eksekutif FIFA di Jepang pada hari Jum’at, 14 Desember 2012 kemarin sanksi itu ditunda dan diberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut selama tiga bulan. Hasil dari sidang Komite Eksekutif FIFA tersebut adalah yang pertama, menyerahkan penyelesaian dualisme induk sepakbola Indonesia kepada AFC. Yang kedua adalah Exco (Komite Eksekutif) FIFA akan menggelar rapat lagi pada 13 Februari 2013 dan yang terakhir adalah memberikan deadline (batas waktu) kepada PSSI untuk menyelesaikan dualisme induk sepakbola Indonesia pada 30 Maret 2013.

Sebenarnya masalah dualisme itu bukannya tidak bisa diselesaikan, namun karena kedua belah pihak yaitu PSSI dan KPSI sama-sama egois dan merasa bahwa mereka masing-masing yang paling benar maka sangat sulit untuk mendamaikannya. Mereka hanya mementingkan kepentingan masing-masing dan tidak menghiraukan masalah yang ditimbulkannya. Apabila sudah seperti ini maka yang dirugikan adalah masyarakat, masyarakat yang rindu akan prestasi Timnas Indonesia Sudah semestinya PSSI dan KPSI bersatu untuk membentuk Timnas yang tangguh. Kemudian pengusaha besar yang punya komitmen terhadap perkembangan sepakbola nasional, seperti Nirwan Bakrie yang notabenenya adalah orang dibalik KPSI dan Arifin Panigoro yang sangat pro dengan PSSI Djohar Arifin Husein sudah seharusnya bergandeng tangan demi memajukan sepakbola Indonesia, bukan malah memanfaatkan sepakbola sebagai lahan bisnis maupun kepentingan politik.

Jumat, 07 Desember 2012

Gerakan Entong Gendut




Gerakan Entong Gendut di Condet
Oleh :
Dede Ismail[1]

            Gerakan perlawanan oleh kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir semua perlawanan atau kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir merupakan akibat dari adanya tuntutan pajak dan kerja rodi yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah itu. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan di tanah partikelir sering disebut sebagai kerusuhan cuke, hal ini sesuai dengan salah satu nama jenis pungutan pajak yang paling membebani di daerah itu.
Tanah-tanah partikelir adalah tanah milik swasta yang muncul akibat praktik-praktik penjualan oleh Kompeni (VOC 1602-1799). Kebijakan seperti itu kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang berlanjut sampai sekitar tahun 1820-an.[2]
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV juga dijelaskan bahwa tanah partikelir timbul sebagai akibat adanya praktik-praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda semenjak permulaan zaman VOC sampai perempat pertama abad ke-19. Tanah-tanah semacam itu terdapat di sekitar Batavia, Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Alasan penyerahan tanah-tanah itu cukup bervariasi. VOC misalnya, pada awalnya menyerahkan tanah dengan status tanah partikelir dilandasi kepentingan politis. VOC banyak menghadiahkan tanah-tanah itu kepada orang-orang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas ketenteraman di sekitar Batavia, termasuk beberapa mantan pegawai atau perwira VOC dan dalam jumlah kecil juga dihadiahkan kepada beberapa kepala penduduk pribumi yaitu untuk mencari dukungan dari pihak-pihak atau tokoh-tokoh tertentu. Sementara itu, tanah di sekitar Bogor menjadi milik pribadi para gubernur jenderal secara berturut-turut. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles banyak tanah dijual dengan status tanah partikelir karena pemerintahan waktu itu mmerlukan banyak dana untuk reorganisasi dan rasionalisasi pemerintahan Hindia yang justru dalam keadaan bangkrut.
Penjualan tanah partikelir berbeda dengan penjualan tanah biasa seperti yang dikenal pada masa kini. Pada penjualan itu yang diserahkan bukan hanya sebidang tanah dengan berbagai jenis tanaman di atasnya, melainkan penyerahan suatu wilayah berikut dengan penduduk yang hidup di atasnya. Kepemilikannya pun bersifat mutlak dalam jangka waktu yang dapat dikatakan relatif tanpa batas. Selainitu, para pemiliknya yang lazim disebut “tuan tanah” memperoleh hak-hak istimewa yang tiada lain adalah hak-hak yang biasanya dipegang oleh pemerintah seperti hak fiskal dan keamanan (kepolisian setempat). Mereka berhak menuntut sebagian hasil produksi tanah garapan para petani dan berhak pula menuntut penyerahan tenaga kerja bagi keperluan pribadinya seperti memetik buah, menggarap dan memelihara tanaman atau mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan adanya hak-hak istimewa itu tuan tanah melakukan eksploitasi tanah miliknya semaksimal mungkin, bahkan tidak jarang pihak tuan tanah melakukan berbagai kecurangan dengan cara memanipulasi reglemen dan kontrak kerja yang ada. Pada masa Daendels dan Raffles telah diadakan perbaikan yaitu dengan adanya larangan kepada tuan rumah untuk menerima sepersepuluh dari hasil tanah atau memungut penyerahan tenaga kerja yang berat. Namun karena kontrol pemerintah terhadap tanah partikelir pada umumnya sangat lemah, pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan tuan tanah tetap terjadi sehingga menimbulkan kegelisahan dan frustasi di kalangan para petani. Akibatnya terjadi perlawanan di beberapa tanah partikelir seperti di Batavia dan Cirebon (1816), Candi Udik (1845), Ciomas (1886) dan Campea (1892). Setelah itu semenjak tahun 1913 terjadi pergolakan-pergolakan yang lebih umum dan mendalam, salah satunya adalah gerakan perlawanan yang terjadi di Condet, Jakarta Timur pada tahun 1916.
Masa penjajahan Belanda di awal abad ke-20 merupakan masa-masa penuh kepahitan bagi rakyat yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat yang sebagian besar hidup sebagai petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah senantiasa berada dalam kondisi tertindas akibat berbagai kebijakan pajak produk penguasa kolonial yang memihak tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut harus dibayarkan oleh petani penggarap kepada tuan tanah setiap minggu dengan jumlah yang sangat  memberatkan bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi penduduk yang tak mampu membayar pajak adalah melakukan kerja paksa  berupa penggarapan sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial dalam jangka waktu sepekan.
Kondisi yang demikian tentu memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap penindasan sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah, kebencian, bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi yang bernuansa kemarahan hingga akhirnya diwujudkan dalam suatu perlawanan ialah reaksi yang ditampilkan oleh Entong Gendut. Entong Gendut sendiri salah satu pendiri perguruan Silat Silau Macan di daerah Condet, Jakarta Timur. Dia adalah seorang tokoh pendekar yang juga terkenal dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang merasakan kebencian serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan secara terbuka.
Pemberontakan yang terjadi di Condet ini berawal dari berlakunya peraturan baru tentang tanah partikelir tahun 1912 yang dimana para tuan tanah melakukan pengadilan terhadap petani-petani yang tidak dapat membayar pajak. Pada tahun 1913 telah dilakukan pengadilan pula 2.000 perkara mengenai kegagalan dalam pembayaran sewa atau pajak pekarangan ataupun penebusan pekerjaan kompenian. Hal yang sama juga dilakukan pada tahun 1914 terhadap 500 perkara dan 300 perkara pada tahun 1915. Akibatnya, banyak kaum petani yang mengalami kebangkrutan karena harta milik mereka terpaksa disita dan dijual atau dibakar. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau hal ini menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang mendalam. Rasa dendam itu menjadi semakin membara karena tuan tanah juga menaikkan pungutan pajak disamping melakukan peradilan tersebut.
Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 14 Mei 1916, yaitu dengan diadilinya seorang bernama Taba dari desa Batu Ampar di tanah partikelir Tanjung Oost. Pengadilan dilakukan di Landraad (pengadilan distrik) Meester Cornelis (Jatinegara) yang memutuskan bahwa Taba harus membayar f7,20 (7,20 gulden) dan ongkos perkaranya. Pada tanggal 15 Maret 1916, ia diperingatkan bahwa apabila ia tidak dapat membayar maka pihak yang berwajib akan menjual barang-barangnya yang disita. Akibat tindakan itu, rakyat menuduh para kepala setempat mengabdi kepada kepentingan orang Kristen, oleh karena itu harus dibunuh. Ketika petugas datang ke tempat Taba untuk melaksanakan keputusan hukumannya yaitu pada tanggal 7 Maret 1916, banyak orang-orang berkumpul di rumah Jaimin yang terletak di sebelah utara rumah Taba. Maksud mereka akan mencegah para Entong Gendut ada di antara gerombolan orang-orang itu. Suara penghinaan dan doa-doa terdengar tetapi tidak sampai terjadi kerusuhan lebih lanjut. Rumah Taba dijual seharga f4,50 (4,50 gulden) dan dibeli Mandor Pirun pada tanggal 15 Maret 1916.[3]
Di Batu Ampar, penduduk bergabung dengan perkumpulan beladiri yang dipergunakan untuk melakukan pencegahan terhadap pegawai-pegawai pemerintah yang akan melaksanakan keputusan-keputusan pengadilan distrik. Menurut laporan, pemimpin-pemimpinnya adalah Entong Gendut, Maliki dan Modin. Ketiganya berasal dari Batu Ampar. Delapan orang wazir dan dua orang prajurit diangkat. Dalam perkumpulan itu telah terdaftar lebih kurang 400 anggota, diantaranya adalah Haji Amat Awab, Said Keramat dan Dullah. Tampak juga beberapa orang Arab mempunyai hubungan rahasia dengan perkumpulan itu, yaitu Said Taba bin Akhmad Al Hadat dan Said Muksin bin Akhmad Alatas dari Cawang serta Said Umar bin Alaydrus dari Cililitan.
Peristiwa yang kedua terjadi pada tanggal 5 April 1916, yaitu ketika Entong Gendut memimpin segerombolan orang-orang berkerumun di depan Villa Nova, rumah Lady Rollinson, pemilik tanah partikelir Cililitan Besar. Pada waktu itu disana ada pertunjukan tarian topeng. Pada sore harinya tuan tanah Tanjung Oost, Ament dilempari dengan batu ketika ia sedang naik mobil melalui barat daya sebuah jembatan. Sementara itu, pertunjukan topeng terus berlangsung tanpa ada gangguan sampai kira-kira pukul 11 yaitu ketika terdengar perintah-perintah untuk menghentikan pertunjukan. Entong Gendutlah yang menyuruh orang-orang supaya bubar dan pulang ke rumah. Gerombolan itu bubar tanpa menimbulkan kerusuhan.[4] Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat keamanan Belanda di Batavia.
Berbagai upaya dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut. Pada tanggal 9 dan 10 April 1916 rumah Entong Gendut digrebek oleh sepasukan petugas pemerintah di bawah pimpinan Wedana untuk menangkapnya. Setelah diminta agar diizinkan keluar dari dalam rumah, Entong Gendut Gendut segera menampakkan diri sambil membawa benda panjang yang dibungkus dengan kain putih (mungkin tombak), keris dan bendera merah dengan gambar bintang sabit berwarna putih. Kemudian dengan suara lantang ia mengatakan bahawa ia adalah raja dan tidak perlu tunduk kepada siapa pun, baik kepada hukum atau kepada Belanda. Setelah memberi aba-aba panggilan kepada anak buahnya, keluarlah beberapa orang dari semak-semak dan terus menerus menyerbu para petugas pemerintah yang mengepung mereka. Mereka semuanya bersenjata, jumlahnya kurang lebih 200 orang. Rombongan Wedana dan polisi kampung dikepung. Karena terancam, rombongan Wedana dan polisi itu bubar menyelamatkan diri dan bersembunyi. Wedana yang bersembunyi akhirnya tertangkap dan ditawan oleh Entong Gendut.
Tidak lama kemudian, pasukan bantuan di bawah pimpinan Asisten Residen datang menyelamatkan Wedana dan menyerbu tempat para pengikut Entong Gendut. Kedatangan pasukan ini disambut oleh para pengikut Entong Gendut dengan teriakan-teriakan, “Sabilillah tidak takut!”. Mereka datang secara bergelombang dengan membawa bendera merah sambil memainkan gerakan-gerakan ilmu silat. Karena para kaum pengikut Entong tidak mengindahkan peringatan dari pasukan pemerintah, akhirnya pasukan pemerintah menembakinya. Kerusuhan berakhir setelah para pengikut Entong Gendut cerai-berai dan lari menyelamatkan diri. Entong Gendut sendiri jatuh tertembak dan akhirnya meninggal karena lukanya cukup parah.[5] Dengan matinya Entong Gendut dan ditawannya pengikut-pengikutnya itu, maka pemberontakan itu dapat dipatahkan.
Seperti di daerah tanah partikelir lainnya, ketidakadilan, kemiskinan dan kemelaratanlah yang menyebabkan petani-petani di Condet, Tanjung Oost melakukan perlawanan. Tindakan tuan tanah telah membuat beratus-ratus petani kehilangan tanah, rumah, bahkan juga kebebasan. Sistem pemilikan tanah partikelir dalam masyarakat modern dengan meluasnya sistem ekonomi uang telah melumpuhkan kehidupan petani. Oleh karena itu dengan adanya kemelaratan maka kejahatan meningkat. Meningkatnya perampokan misalnya, dapat dihubungkan dengan meningkatnya protes sosial yang tidak terorganisasi. Perlawanan yang dikerahkan oleh Entong Gendut dan para pengikutnya tak lain adalah usaha dalam mengembalikan hak para petani dan warganya terhadap sistem pajak dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dan tuan tanah terhadap penduduk. Meskipun terbilang frontal, namun Entong Gendut dan pengikutnya tidak secara habis-habisan dalam menghukum pemerintah kolonial maupun antek-anteknya. Ini terbukti dia melepaskan kembali tawanannya kepada pemerintah kolonial meskipun dalam keadaan yang cukup berbahaya. Entong Gendut tewas sebagai pengacau bagi penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di Condet khususnya dan Batavia pada umumnya.



DAFTAR SUMBER
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ruchiat, Rachmat. 2011. Asal Usul Nama Tempat di Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.



[1]  Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran
[2] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 400
[3] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 414
[4] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 415
[5] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 416