Jumat, 07 Desember 2012

Gerakan Entong Gendut




Gerakan Entong Gendut di Condet
Oleh :
Dede Ismail[1]

            Gerakan perlawanan oleh kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir semua perlawanan atau kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir merupakan akibat dari adanya tuntutan pajak dan kerja rodi yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah itu. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan di tanah partikelir sering disebut sebagai kerusuhan cuke, hal ini sesuai dengan salah satu nama jenis pungutan pajak yang paling membebani di daerah itu.
Tanah-tanah partikelir adalah tanah milik swasta yang muncul akibat praktik-praktik penjualan oleh Kompeni (VOC 1602-1799). Kebijakan seperti itu kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang berlanjut sampai sekitar tahun 1820-an.[2]
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV juga dijelaskan bahwa tanah partikelir timbul sebagai akibat adanya praktik-praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda semenjak permulaan zaman VOC sampai perempat pertama abad ke-19. Tanah-tanah semacam itu terdapat di sekitar Batavia, Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Alasan penyerahan tanah-tanah itu cukup bervariasi. VOC misalnya, pada awalnya menyerahkan tanah dengan status tanah partikelir dilandasi kepentingan politis. VOC banyak menghadiahkan tanah-tanah itu kepada orang-orang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas ketenteraman di sekitar Batavia, termasuk beberapa mantan pegawai atau perwira VOC dan dalam jumlah kecil juga dihadiahkan kepada beberapa kepala penduduk pribumi yaitu untuk mencari dukungan dari pihak-pihak atau tokoh-tokoh tertentu. Sementara itu, tanah di sekitar Bogor menjadi milik pribadi para gubernur jenderal secara berturut-turut. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles banyak tanah dijual dengan status tanah partikelir karena pemerintahan waktu itu mmerlukan banyak dana untuk reorganisasi dan rasionalisasi pemerintahan Hindia yang justru dalam keadaan bangkrut.
Penjualan tanah partikelir berbeda dengan penjualan tanah biasa seperti yang dikenal pada masa kini. Pada penjualan itu yang diserahkan bukan hanya sebidang tanah dengan berbagai jenis tanaman di atasnya, melainkan penyerahan suatu wilayah berikut dengan penduduk yang hidup di atasnya. Kepemilikannya pun bersifat mutlak dalam jangka waktu yang dapat dikatakan relatif tanpa batas. Selainitu, para pemiliknya yang lazim disebut “tuan tanah” memperoleh hak-hak istimewa yang tiada lain adalah hak-hak yang biasanya dipegang oleh pemerintah seperti hak fiskal dan keamanan (kepolisian setempat). Mereka berhak menuntut sebagian hasil produksi tanah garapan para petani dan berhak pula menuntut penyerahan tenaga kerja bagi keperluan pribadinya seperti memetik buah, menggarap dan memelihara tanaman atau mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan adanya hak-hak istimewa itu tuan tanah melakukan eksploitasi tanah miliknya semaksimal mungkin, bahkan tidak jarang pihak tuan tanah melakukan berbagai kecurangan dengan cara memanipulasi reglemen dan kontrak kerja yang ada. Pada masa Daendels dan Raffles telah diadakan perbaikan yaitu dengan adanya larangan kepada tuan rumah untuk menerima sepersepuluh dari hasil tanah atau memungut penyerahan tenaga kerja yang berat. Namun karena kontrol pemerintah terhadap tanah partikelir pada umumnya sangat lemah, pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan tuan tanah tetap terjadi sehingga menimbulkan kegelisahan dan frustasi di kalangan para petani. Akibatnya terjadi perlawanan di beberapa tanah partikelir seperti di Batavia dan Cirebon (1816), Candi Udik (1845), Ciomas (1886) dan Campea (1892). Setelah itu semenjak tahun 1913 terjadi pergolakan-pergolakan yang lebih umum dan mendalam, salah satunya adalah gerakan perlawanan yang terjadi di Condet, Jakarta Timur pada tahun 1916.
Masa penjajahan Belanda di awal abad ke-20 merupakan masa-masa penuh kepahitan bagi rakyat yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat yang sebagian besar hidup sebagai petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah senantiasa berada dalam kondisi tertindas akibat berbagai kebijakan pajak produk penguasa kolonial yang memihak tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut harus dibayarkan oleh petani penggarap kepada tuan tanah setiap minggu dengan jumlah yang sangat  memberatkan bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi penduduk yang tak mampu membayar pajak adalah melakukan kerja paksa  berupa penggarapan sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial dalam jangka waktu sepekan.
Kondisi yang demikian tentu memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap penindasan sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah, kebencian, bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi yang bernuansa kemarahan hingga akhirnya diwujudkan dalam suatu perlawanan ialah reaksi yang ditampilkan oleh Entong Gendut. Entong Gendut sendiri salah satu pendiri perguruan Silat Silau Macan di daerah Condet, Jakarta Timur. Dia adalah seorang tokoh pendekar yang juga terkenal dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang merasakan kebencian serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan secara terbuka.
Pemberontakan yang terjadi di Condet ini berawal dari berlakunya peraturan baru tentang tanah partikelir tahun 1912 yang dimana para tuan tanah melakukan pengadilan terhadap petani-petani yang tidak dapat membayar pajak. Pada tahun 1913 telah dilakukan pengadilan pula 2.000 perkara mengenai kegagalan dalam pembayaran sewa atau pajak pekarangan ataupun penebusan pekerjaan kompenian. Hal yang sama juga dilakukan pada tahun 1914 terhadap 500 perkara dan 300 perkara pada tahun 1915. Akibatnya, banyak kaum petani yang mengalami kebangkrutan karena harta milik mereka terpaksa disita dan dijual atau dibakar. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau hal ini menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang mendalam. Rasa dendam itu menjadi semakin membara karena tuan tanah juga menaikkan pungutan pajak disamping melakukan peradilan tersebut.
Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 14 Mei 1916, yaitu dengan diadilinya seorang bernama Taba dari desa Batu Ampar di tanah partikelir Tanjung Oost. Pengadilan dilakukan di Landraad (pengadilan distrik) Meester Cornelis (Jatinegara) yang memutuskan bahwa Taba harus membayar f7,20 (7,20 gulden) dan ongkos perkaranya. Pada tanggal 15 Maret 1916, ia diperingatkan bahwa apabila ia tidak dapat membayar maka pihak yang berwajib akan menjual barang-barangnya yang disita. Akibat tindakan itu, rakyat menuduh para kepala setempat mengabdi kepada kepentingan orang Kristen, oleh karena itu harus dibunuh. Ketika petugas datang ke tempat Taba untuk melaksanakan keputusan hukumannya yaitu pada tanggal 7 Maret 1916, banyak orang-orang berkumpul di rumah Jaimin yang terletak di sebelah utara rumah Taba. Maksud mereka akan mencegah para Entong Gendut ada di antara gerombolan orang-orang itu. Suara penghinaan dan doa-doa terdengar tetapi tidak sampai terjadi kerusuhan lebih lanjut. Rumah Taba dijual seharga f4,50 (4,50 gulden) dan dibeli Mandor Pirun pada tanggal 15 Maret 1916.[3]
Di Batu Ampar, penduduk bergabung dengan perkumpulan beladiri yang dipergunakan untuk melakukan pencegahan terhadap pegawai-pegawai pemerintah yang akan melaksanakan keputusan-keputusan pengadilan distrik. Menurut laporan, pemimpin-pemimpinnya adalah Entong Gendut, Maliki dan Modin. Ketiganya berasal dari Batu Ampar. Delapan orang wazir dan dua orang prajurit diangkat. Dalam perkumpulan itu telah terdaftar lebih kurang 400 anggota, diantaranya adalah Haji Amat Awab, Said Keramat dan Dullah. Tampak juga beberapa orang Arab mempunyai hubungan rahasia dengan perkumpulan itu, yaitu Said Taba bin Akhmad Al Hadat dan Said Muksin bin Akhmad Alatas dari Cawang serta Said Umar bin Alaydrus dari Cililitan.
Peristiwa yang kedua terjadi pada tanggal 5 April 1916, yaitu ketika Entong Gendut memimpin segerombolan orang-orang berkerumun di depan Villa Nova, rumah Lady Rollinson, pemilik tanah partikelir Cililitan Besar. Pada waktu itu disana ada pertunjukan tarian topeng. Pada sore harinya tuan tanah Tanjung Oost, Ament dilempari dengan batu ketika ia sedang naik mobil melalui barat daya sebuah jembatan. Sementara itu, pertunjukan topeng terus berlangsung tanpa ada gangguan sampai kira-kira pukul 11 yaitu ketika terdengar perintah-perintah untuk menghentikan pertunjukan. Entong Gendutlah yang menyuruh orang-orang supaya bubar dan pulang ke rumah. Gerombolan itu bubar tanpa menimbulkan kerusuhan.[4] Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat keamanan Belanda di Batavia.
Berbagai upaya dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut. Pada tanggal 9 dan 10 April 1916 rumah Entong Gendut digrebek oleh sepasukan petugas pemerintah di bawah pimpinan Wedana untuk menangkapnya. Setelah diminta agar diizinkan keluar dari dalam rumah, Entong Gendut Gendut segera menampakkan diri sambil membawa benda panjang yang dibungkus dengan kain putih (mungkin tombak), keris dan bendera merah dengan gambar bintang sabit berwarna putih. Kemudian dengan suara lantang ia mengatakan bahawa ia adalah raja dan tidak perlu tunduk kepada siapa pun, baik kepada hukum atau kepada Belanda. Setelah memberi aba-aba panggilan kepada anak buahnya, keluarlah beberapa orang dari semak-semak dan terus menerus menyerbu para petugas pemerintah yang mengepung mereka. Mereka semuanya bersenjata, jumlahnya kurang lebih 200 orang. Rombongan Wedana dan polisi kampung dikepung. Karena terancam, rombongan Wedana dan polisi itu bubar menyelamatkan diri dan bersembunyi. Wedana yang bersembunyi akhirnya tertangkap dan ditawan oleh Entong Gendut.
Tidak lama kemudian, pasukan bantuan di bawah pimpinan Asisten Residen datang menyelamatkan Wedana dan menyerbu tempat para pengikut Entong Gendut. Kedatangan pasukan ini disambut oleh para pengikut Entong Gendut dengan teriakan-teriakan, “Sabilillah tidak takut!”. Mereka datang secara bergelombang dengan membawa bendera merah sambil memainkan gerakan-gerakan ilmu silat. Karena para kaum pengikut Entong tidak mengindahkan peringatan dari pasukan pemerintah, akhirnya pasukan pemerintah menembakinya. Kerusuhan berakhir setelah para pengikut Entong Gendut cerai-berai dan lari menyelamatkan diri. Entong Gendut sendiri jatuh tertembak dan akhirnya meninggal karena lukanya cukup parah.[5] Dengan matinya Entong Gendut dan ditawannya pengikut-pengikutnya itu, maka pemberontakan itu dapat dipatahkan.
Seperti di daerah tanah partikelir lainnya, ketidakadilan, kemiskinan dan kemelaratanlah yang menyebabkan petani-petani di Condet, Tanjung Oost melakukan perlawanan. Tindakan tuan tanah telah membuat beratus-ratus petani kehilangan tanah, rumah, bahkan juga kebebasan. Sistem pemilikan tanah partikelir dalam masyarakat modern dengan meluasnya sistem ekonomi uang telah melumpuhkan kehidupan petani. Oleh karena itu dengan adanya kemelaratan maka kejahatan meningkat. Meningkatnya perampokan misalnya, dapat dihubungkan dengan meningkatnya protes sosial yang tidak terorganisasi. Perlawanan yang dikerahkan oleh Entong Gendut dan para pengikutnya tak lain adalah usaha dalam mengembalikan hak para petani dan warganya terhadap sistem pajak dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dan tuan tanah terhadap penduduk. Meskipun terbilang frontal, namun Entong Gendut dan pengikutnya tidak secara habis-habisan dalam menghukum pemerintah kolonial maupun antek-anteknya. Ini terbukti dia melepaskan kembali tawanannya kepada pemerintah kolonial meskipun dalam keadaan yang cukup berbahaya. Entong Gendut tewas sebagai pengacau bagi penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di Condet khususnya dan Batavia pada umumnya.



DAFTAR SUMBER
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ruchiat, Rachmat. 2011. Asal Usul Nama Tempat di Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.



[1]  Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran
[2] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 400
[3] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 414
[4] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 415
[5] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 416