Minggu, 06 November 2011

Hollands Inlandse School

HIS merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan atas anak-anak pribumi asli. Alasan didirikannya HIS adalah keinginan yang kuat di kalangan orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan Barat. Keinginan untuk memperoleh pendidikan ini merupakan hal yang sangat wajar jika melihat perubahan kondisi sosial politik Timur Jauh. Pada awalnya pendirian sekolah ini menimbulkan keberatan di kalangan pemerintah Belanda antara lain bahwa sekolah ini akan menimbulkan masalah pengangguran di kalangan kaum intelektual yang tidak terserap oleh pemerintah dan perusahaan swasta. Ada yang merasa keberatan karena adanya biaya yang besar yang diperlukan untuk penyelenggaraan sekolah serupa ini sehingga mengurangi biaya untuk memberantas buta huruf. Ada pula yang merasa takut kalau kelompok nasionalis yang terdidik akan menyamai dan menyaingi orang Belanda. Ada pula yang ingin mempertahankan Sekolah Kelas Satu, namun Sekolah Kelas Satu tidak bisa lagi dipertahankan karena tidak membuka kesempatan meneruskan pelajaran. Hal ini menyebabkan munculnya pemikiran yang menghubungkan dengan MULO sehingga terjadi keterkaitan antara pendidikan bagi pribumi dengan pendidikan barat. Untuk itu kurikulumnya harus diperluas dengan sejumlah mata pelajaran seperti sejarah dan geografi dan memulai bahasa Belanda di kelas satu. Dengan demikian Sekolah Kelas Satu sesungguhya telah menjadi Hollands Inlandse School dan resmi berdiri pada tahun 1914.


1) Kurikulum

Dalam Statuta 1914 No. 764, kurikulum HIS meliputi semua mata pelajaran ELS bukan kelas satu dengan perbedaan yaitu diajarkan juga membaca dan menulis bahasa daerah dalam aksara Latin dan bahasa Melayu dalam tulisan Arab dan Latin. Kemudian pada kurikulum 1915 tidak meliputi sejarah, bernyanyi dan pendidikan jasmani. Sejarah dianggap sensitif dari segi politik dan untuk bernyanyi dan pendidikan jasmani belum ada guru-guru yang kompeten. Membaca di kelas satu bertujuan untuk menguasai keterampilan membaca, pada umumnya diberikan tiga bahasa yaitu bahasa daerah, Melayu dan bahasa Belanda. Mata pelajaran terpenting ialah bahasa Belanda. Pelajaran ini meliputi 43,9% dari seluruh waktu pengajaran, selain itu mata pelajaran lain juga digunakan untuk menguasai bahasa ini. Jadi secara keseluruhan waktu sesungguhnya untuk mempelajari bahasa Belanda menjadi 66,4%. Kurikulum HIS tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak dam masyarakat Indonesia tetapi disesuaikan dengan Belanda. Buku-buku yang dipelajari merupakan buku yang ditulis oleh pengarang Belanda yang memandang Indonesia dari segi pandangannya sendiri. Oleh karena itu, dalam pendidikan HIS sangat kental dengan unsur-unsur ke-Belandaan.


2) Guru

HIS merupakan lembaga utama untuk memperoleh pendidikan barat, khususnya mempelajari bahasa Belanda karena bahasa Belanda sangat penting sebagai kunci untuk menempuh pendidikan lanjutan, sebagai sarana untuk masuk kebudayaan barat dan syarat untuk memperoleh pekerjaan. Dengan menguasai bahasa Belanda juga bisa membuat seseorang masuk ke dalam golongan elite intelektual. Untuk mengajarkan bahasa Belanda diperlukan guru-guru Belanda, akan tetapi karena sulitnya memenuhi kebutuhan guru di HIS yang senantiasa bertambah maka digunakan guru-guru Indonesia lulusan HKS (Hogere Kwekschool). Kepala sekolah yang ditunjuk adalah orang Belanda yang mempunyai Hoofdacte atau ijazah kepala sekolah, akan tetapi orang Indonesia juga bisa menjadi kepala sekolah apabila memiliki H.A. (Hoofdacte) dan untuk itu diadakan kursus H.A. Guru-guru yang mengajar di HIS merupakan guru yang belajar pada HKS (Hogere Kweekschool) yang pertama kali dibuka di Purweroje pada tahun 1914 yaitu tahun yang sama dimana diresmikannya HIS. Sekolah guru ini dimulai sebagai kursus seperti halnya dengan MULO dan Sekolah Normal yang mula-mula dibuka sebagai kursus MULO dan kursus Normal. Hanya lulusan yang terbaik dalam ujian KS (Kweekschool) yang diterima di HKS. Sebagian guru-guru berasal dari golongan sosial rendah, dari 645 siswa KS pada tahun 1916 hanya 39 orang yang berasal dari golongan priyai diatas wedana. Jadi HKS bukan sekolah untuk golongan elite sosial, akan tetapi bagi elite intelektual. Dari 645 itu hanya 27 siswa wanita, hal ini disebabkan karena hambatan adat istiadat. Jumlah yang sangat kecil memang, namun seiring berjalannya waktu jumlah itu terus bertambah.


3) Murid dan Sistem Perekrutannya

Sama halnya dengan Sekolah Kelas Satu, HIS dimaksudkan sebagai sekolah untuk golongan elite dan pada prinsipnya sekolah ini diperuntukkan bagi golongan sosial atas. Namun sangat sulit untuk menentukan siapa yang termasuk golongan ini karena dalam pelaksanaannya anak-anak golongan atas tidak mencukupi dan lebih menyukai ELS (Europese Lagere school) walaupun secara resmi diploma HIS sama dengan ELS tetapi dalam masyarakat ELS lebih dihargai. Karena kekurangan murid golongan atas tersebut, maka golongan rendah memperoleh kesempatan belajar dan banyak diantara mereka yang berbakat intelektual kemudian memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari anak golongan aristokrasi. Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa sangat sulit menentukan batas golongan tinggi dan rendah. Apabila dalam golongan tinggi dimasukkan orang-orang berpangkat wedana ke atas maka jumlah murid HIS kurang dari 20% termasuk golongan itu, akan tetapi bila pegawai pemerintah dan orang-orang berada juga dianggap golongan atas maka murid HIS 80% termasuk golongan itu sendiri dan HIS dapat dipandang sebagai sekolah elite.

Berdasarkan peraturan pemerintah, anak-anak yang dapat menempuh pendidikan di HIS ditentukan oleh empat kategori, yakni : keturunan, jabatan, kekayaan atau pendidikan. Dengan demikian, anak-anak wedana, demang, anak-anak yang orang tuanya berpendidikan Barat minimal MULO, atau anak-anak yang penghasilan orang tuanya minimal 100 gulden sebulan dapat menempuh pendidikan di sini. Akan tetapi, pada kenyataannya HIS ternyata juga membuka kesempatan bagi golongan swasta dan bagi golongan yang berpenghasilan rendah. Kecenderungan ini lebih kentara pada perbandingan latar belakang murid sekolah Schakel, yaitu sekolah yang merupakan perantara antara sistem Bumiputra dan sistem Belanda.

Sebagian besar murid HIS terdiri atas anak pria walaupun emansipasi wanita bertambah populer atas pengaruh R.A. Kartini pada akhir abad ke-19, gadis-gadis belum mempunyai kesempatan belajar yang sama dengan anak pria. Bagi kebanyakan pemikiran orang, tempat wanita masih di dapur, rumah atau sawah. HIS bagi kebanyakan orang Indonesia merupakan lembaga pendidikan yang mahal. Uang sekolah sama dengan ELS. Kategori pembayaran paling rendah aladah f 36,- per tahun bagi orang tua yang berpenghasilan f 3000,- per tahun atau kurang. Lebih dari 90% dari orang tua termasuk golongan ini. Menyisihkan f 3,- sebulan untuk uang sekolah bagi kebanyakan orang tua merupakan pengorbanan berat yang akan direlakan lebih dulu kepada anak pria ketimbang anak wanita. Pada tahun 1916 populasi jumlah murid HIS seluruhnya berjumlah 20.737, diantaranya 3.338 atau 16% adalah wanita, mereka kebanyakan dari golongan atas. Pegawai pemerintah yang telah menerima pendidikan barat progresif dalam sikapnya untuk menyekolahkan anak gadisnya. Tidak hanya anak Indonesia yang diterima dalam HIS, ada pula anak Cina dan Belanda. Pada umumnya sangat jarang anak Cina dan Belanda yang bersekolah di HIS. Pada tahun 1916 hanya 33 anak Belanda dan 211 anak Cina yang terdapat diantara 20.737 murid di HIS. Jumlah murid HIS bertambah dengan sangat cepat. Pada tahun pertamanya yaitu tahin 1914 terdapat 18.181 murid dan selanjutnya pada tahun 1921 jumlah muridnya sudah mencapai 38.211 atau dua kali lipat dala kurun waktu tujuh tahun.


4) Lulusan HIS

Suatu bukti atas keberhasilan sekolah ini adalah banyaknya lulusan HIS yang lulus dalam ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaars examen). Selanjutnya lulusan HIS juga banyak yang diterima di STOVIA dan MULO, selain itu mereka juga bisa memasuki Sekolah Guru, Sekolah Normal, Sekolah Teknik, Sekolah Tukang, Sekolah Pertanian, Sekolah Menteri Ukur dan lain-lain, diantara mereka ada yang tanpa melalui ujian masuk.

Referensi

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia.

Nasution, Sorimuda. 1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.