Jumat, 13 April 2012

JUGUN IANFU : PELACURAN ATAU KEJAHATAN KEMANUSIAAN ?

Apabila kita sedikit menarik garis perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia ke belakang, tentunya kita mengetahui bahwa perjuangan itu merupakan suatu proses yang sangat panjang. Salah satu periode perjuangan yang dianggap sangat berat adalah ketika Jepang benar-benar berhasil menduduki Indonesia pada 8 Maret 1942. Selama periode pendudukan Jepang ini (1942-1945), ada satu hal yang menarik yang cukup penting untuk dibahas, yaitu mengenai Jugun Ianfu. Jugun Ianfu sendiri merupakan sebutan untuk perempuan yang dijadikan sebagai penghibur atau budak seks oleh tentara Jepang.

Menjadi pertanyaan besar memang, apakah Jugun Ianfu ini merupakan praktek prostitusi atau sebuah kejahatan kemanusiaan. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu mengenai pengertian dari pelacuran dan kejahatan kemanusiaan itu sendiri.

Pengertian pelacuran atau prostitusi itu sendiri adalah suatu aktifitas penjualan secara komersial atas jasa layanan seksual, seperti seks oral atau hubungan seks yang dapat menghasilkan uang atau barang lainnya bagi seseorang yang menjual jasa seksual tersebut. Orang yang menjual jasa seksual tersebut dikenal dengan istilah pelacur atau yang sekarang sering disebut dengan pekerja seks komersial (PSK).

Sedangkan kejahatan kemanusiaan adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Diatur dalam pasal 7 Statuta Roma dan dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 pasal 9 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, definisi kejahatan kemanusiaan ialah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid.

Apabila membahas masalah pelacuran tentu tidak akan ada habisnya. Pelacuran merupakan suatu fenomena kehidupan yang selalu ada di setiap perkembangan zaman. Tidak bisa dipungkiri memang kalau pelacuran sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia sejak lama, hal ini tentu sangat sulit untuk dihilangkan dan dikurangi, bahkan akan cenderung bertambah seiring dengan masalah-masalah sosial yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Kondisi ekonomi yang mengalami krisis sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, hal ini berpengaruh terhadap aktifitas perekonomian yang bisa dibilang sangat serius. Lapangan pekerjaan yang semakin berkurang tentu menyebabkan penghasilan masyarakat akan ikut berkurang. Hal itulah yang mendorong sebagian masyarakat melakukan kegiatan pelacuran guna mendapatkan penghasilan demi mencukupi kebutuhan hidupnya

Sedikit membahas masalah perkembangan prostitusi atau pelacuran, sebenarnya sejarah panjang prostitusi di Indonesia sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, hal itu ditandai dengan adanya pergundikan-pergundikan. Prostitusi pada masa Hindia Belanda terjadi karena pada masa itu jumlah perempuannya lebih sedikit dibandingkan dengan kaum pria. Banyak pemukiman-pemukiman yang dijadikan sebagai tempat praktek prostitusi dan itu sangat diminati. Setelah kekuasaan Hindia Belanda berakhir pun praktek prostitusi masih dijalankan. Berakhirnya masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942 bukan berarti Indonesia terlepas dari penjajahan, malah justru semakin memprihatinkan. Pemerintahan Jepang sebagai penggantinya menjalankan pemerintahan yang sangat refresif. Kondisi ekonomi masyarakat menjadi sangat parah dan memprihatinkan karena segala barang-barang produksi hanya diperuntukkan bagi pemerintahan Jepang. Dalam hal ini rakyat sangat terkekang dan kemiskinan serta kelaparan terjadi dimana-mana. Bahkan Jepang juga mengerahkan tenaga rakyat untuk membangun prasarana perang secara paksa. Para pekerja paksa ini disebut dengan Romusha. Rakyat sangat sengsara dan menderita karena banyak yang berpakaian dari kain goni, hal ini menyebabkan banyak yang mengalami penyakit kulit. Biasanya untuk mengurangi penyakit kulit tersebut, mereka melepas kain goni tersebut dan mencucinya. Selama menunggu kering dan tidak berpakain tersebut, mereka selalu berjemur agar penyakit kulit yang mereka derita mengering oleh sinar matahari. Perlu diketahui mengapa rakyat menggunakan pakaian yang terbuat dari karung goni, hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan Jepang yang memonopoli barang-barang kehidupan sehari-hari seperti pakaian, makanan dan obat-obatan. Kebutuhan itu seluruhnya dipergunakan untuk membantu Jepang dalam menghadapi peperangan sehingga pada masa pendudukan Jepang ini kelaparan, penyakit kulit dan sakit merupakan hal yang sangat biasa, bahkan meninggal di pinggir jalan atau sembarang tempat pun merupakan hal yang sangat lumrah.

Kembali kepada pembahasan, bahwa selama Jepang menduduki Indonesia tidak banyak hal yang berubah mulai dari sarana dan prasarana, namun untuk masalah prostitusi terus mengalami perkembangan. Hal itu tentu tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Pada masa pendudukan Jepang diperkirakan banyak kaum perempuan yang tertipu maupun dipaksa untuk menjalani kegiatan prostitusi. Banyak alasan yang dilakukan pemerintahan Jepang untuk menipu dan menjebak kaum perempuan tersebut, diantaranya adalah dengan menawarkan lapangan pekerjaan dan pendidikan. Banyak perempuan yang tertarik dengan tawaran itu, padahal mereka tidak tahu kalau sebenarnya mereka akan dijadikan sebagai budak seks oleh tentara Jepang. Mereka dipaksa melayani hasrat seks para serdadu dan perwira Jepang. Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani nafsu birahi tentara Jepang sebanyak 10 sampai 20 orang selama siang dan malam serta dibiarkan kelaparan, kemudian apabila hamil maka diperintahkan untuk diaborsi secara paksa. Banyak perempuan yang mati karena sakit, bunuh diri atau ada juga yang disiksa sampai mati. Para pemuas seks ini berasal dari latar belakang keluarga pegawai pengreh praja yang takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Pada masa ini pangreh praja sangat tunduk kepada Sendenbu (barisan propaganda), oleh karena itu para pangreh praja (mulai dari bupati sampai lurah) harus memberikan contoh kepada masyarakat dengan menyerahkan anaknya. Sendenbu bertugas memberikan kabar dari mulut ke mulut kepada rakyat mengenai janji-janji untuk mendapat pekerjaan, kehidupan yang lebih layak maupun disekolahkan ke luar negeri, bisa dikatakan ini sesuatu yang terselubung karena iming-iming pendidikan dan pekerjaan ini tidak disiarkan melalui surat kabar. Selain itu juga ada perempuan yang berasal dari desa yang secara ekonomi bisa dikatakan sangat miskin karena mereka berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali sehingga tidak mengenal baca tulis. Latar belakang Jugun Ianfu ini bervariasi, sebagian dari mereka ada yang masih gadis, bahkan ada juga yang masih di bawah umur. Ada juga yang sudah mempunyai suami dan mempunyai anak.

Ketertarikan mereka terhadap iming-iming akan tawaran pekerjaan dan pendidikan serta penghidupan yang layak yang membuat mereka mau mengikuti apa yang ditawarkan sehingga mereka terjebak dalam praktek prostitusi. Lagi-lagi akar masalahnya adalah dalam hal lapangan pekerjaan. Praktek prostitusi dari masa ke masa tentu tidak terlepas dari masalah lapangan pekerjaan, mulai dari zaman Hindia Belanda sampai masa pendudukan Jepang. Kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang sulit akibat peperangan pada masa pendudukan Jepang disinyalir menjadi alasan utama bagaimana para perempuan pada masa itu mudah sekali terjebak mengikuti omongan Sendenbu dengan harapan mendapatkan pekerjaan guna meringankan beban hidup keluarga. Hampir sebagian besar perempuan pada masa itu tidak banyak berpikir panjang apabila mendapatkan tawaran lapangan pekerjaan karena yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana mencukupi kebutuhan keluarga, anak bisa makan serta mampu melangsungkan kehidupannya. Perekrutan para perempuan untuk dijadikan sebagai budak seks ini terus berlanjut sampai dengan berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia.

Jugun Ianfu bukanlah merupakan praktek pelacuran karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian pelacuran adalah aktifitas jasa layanan seks secara komersial yang memberikan keuntungan bagi pelakunya sedangkan para kaum Jugun Ianfu ini adalah hanya korban yang tidak tahu bahwa mereka akan dijadikan sebagai pelacur dan mereka pun tidak mendapatkan keuntungan apa-apa bahkan yang mereka dapatkan adalah kerugian secara fisik maupun mental. Jugun Ianfu merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan pada masa pendudukan Jepang yang dilakukan oleh balatentara Jepang karena dalam definisi kejahatan kemanusiaan disebutkan bahwa hal-hal yang termasuk dalam kejahatan kemanusiaan terdapat hal yang sama dengan Jugun Ianfu yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa dan penganiayaan.

Mereka tertipu, ya tertipu. Banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban nafsu birahi tentara Jepang. Sistem perekrutan calon Jugun Ianfu yang sifatnya hanya melalui mulut ke mulut tanpa adanya keterbukaan dengan iming-iming lapangan pekerjaan telah membuat mereka buta, ya buta karena kebutuhan hidup. Tetapi mereka tidak bisa disalahkan karena mereka hanyalah korban, korban dari keserakahan dan nafsu birahi balatentara Jepang.

Artikel ini dimuat di harian Sumedang Ekspres Sabtu, 7 April 2012