Jumat, 02 Desember 2011

Decentralisatie Wet dan Pembentukan Provinsi

Apa yang dimaksud dengan Decentralisatie Wet ?

Decentralisatie Wet merupakan undang-undang tentang desentralisasi atau otonomi daerah pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Decentralisatie Wet dengan nama asli Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie itu diundangkan pada tanggal 23 Juli 1903 (dipublikasikan lewat Nederlandsche Staatsblad No. 329) merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Regeringsreglement sendiri dalam bahasa Indonesia berarti peraturan pemerintah atau yang biasa disebut dengan konstitusi.

Amandemen Regeringsreglement 1854 (RR 1854) tersebut dilakukan dengan menambahkan tiga pasal baru yang disisipkan diantara pasal 68 dan pasal 69 RR 1854 yaitu Pasal 68a, 68b dan 68c. Dengan adanya tiga pasal baru ini dimaksudkan agar reorganisasi pemerintahan menuju terwujudnya desentralisasi administratif di daerah-daerah akan dimungkinkan.

Pasal 68 RR 1854 yang sudah ada sejak semula pada pokoknya berisi empat hal, yaitu :

- Wilayah Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah dan pembagian itu akan dilakukan oleh raja.

- Pemerintahan di daerah-daerah dilaksanakan oleh pejabat-pejabat tinggi (hoofdambtenaren) yang sebutan jabatannya akan ditentukan kemudian.

- Gubernur Jenderal akan menetapkan instruksi-instruksi berkenaan dengan hubungan para pejabat tinggi daerah itu dengan berbagai pihak yang lain.

- Kekuasaan sipil adalah kekuasaan yang tertinggi di daerah-daerah.

Sejarah panjang pembentukan Decentralisatie Wet mulanya adalah pada persidangan Tweede kamer, akhir tahun 1880. Salah seorang anggota bernama L.W.C. Keuchenius membuka kembali perdebatan dengan mengetangahkan keyakinannya agar di daerah-daerah dibentuk apa yang disebut gewestelijk raden. Gewestelijk raad adalah suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Mendukung pendapat atau suara Keuchenius adalah upaya anggota Tweede Kamer yang laian, yaitu W.K. Baron Van Dedem. Pada persidangan tahun 1881, van Dedem menyuarakan pendapatnya tentang perlunya dilakukan perubahan dalam tata pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Tetapi, hervorming yang diusulkan van Dedem tidaklah dimaksudkan untuk memasuki ranah ketatanegaraan, seperti yang dikemukakan oleh Keuchenius, melainkan hanya sebagai hervorming yang lebih bersifat administratif, ialah permasalahan anggaran biaya pemerintahan tanah jajahan. Dnegan demikian, akan berarti bahwa harus dilakukan amandemen, tidak hanya terhadap RR 1854, tetapi juga terhadap De Indische Comptabliteits Wet (ICW)1864. Amandemen akan menyebabkan anggaran pendapatan dan belanja Hindia Belanda tidak lagi disiapkan oleh eksekutif, dalam hal itu pro forma oleh raja lewat Koninklijke Besluit-nya, tetapi sudah harus berdasarkan produk legislatif.

Dalam sidang parlemen tahun persidangan berikutnya, van Dedem mengajukan usul inisiatif guna menyiapkan sebuah rancangan undang-undang tentang anggaran belanja Hindia Belanda. Rancangan undang-undang tersebut harus ditetapkan terpisah dari anggaran belanja Negeri Belanda. Permasalahan anggaran dan keuangan ikut disinggung oleh van Dedem ketika mengetengahkan gagasannya yang dituangkan dalam rancangan undang-undang yang yang diprakarsainya tentang desentarlisasi tersebut.

Babak baru dalam upaya mendesentralisasi kewenangan dalam urusan keuangan dan anggaran itu terjadi ketika para pengupaya prodesentralisasi menduduki posiss-posisi yang lebih strategis. Pada bulan april 1888, Keuchenius, yang ketika itu menjadi anggota Tweede Kamer. Membuka perdebatan tentang perlunya dibentuk gewestelijke raden dalam rangka desentralisasi pada ketatanegaraan Hindia Belanda (yang pada waktu itu ia ditunjuk dan diangkat sebagai menteri Koloni).

Setelah tidak ada perkembangan yang penting di antara tahun 1891-1893 dan, setelah sempat terlantar tanpa tanggapan semestinya, barulah pada tahun 1894 surat Pijnacker Hordijk memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Pada tahun itu, van Dedem, yang dalam kedudukannya sebagai anggota Tweede Kamer juga banyak menyuarakan pendapatnya yang prodesenralisasi (pada waktu itu ia menduduki jabatan menteri koloni). Tiga minggu terhitung sejak hari pertama memangku jabatannya, van Dedem berkirim telegram kepada Pijnacker Hordijk untuk mempelajari lebih lanjut apa yang telah dikerjakan selama ini. Dalam waktu satu tahun Pijnacker Hordijk menyelesaikan tugasnya dan menyarankan Menteri Koloni van Dedem, agar sejak saat itu, proses selanjutnya dilakukan di negeri Belanda dalam kancah perjuangan legislatif. Namun proses legislatif itu berjalan alot dan lamban.

Pada bulan juli 1897 Gubernur Jenderal van Der Wijck mengirimkan naskah terakhir usulannya, yaitu tentang reorganisasi struktur pemerintahan di daerah-daerah keresidenan kepada menteri Koloni yang pada saat itu sudah beralih kepada pejabat baru, J.Th. Cremer. Cremer yang sejak masa keanggotaannya di Tweede Kamer, terkenal juga sebagai tokoh yang antisentralisasi. Cremer masih tetap kukuh dalam pendapatnya bahwa sentralisasi dalam pemerintahan Hindia Belanda benar-benar merupakan sisi gelap dalam pengelolaan Tanah Hindia, oleh sebab itu desentralisasi harus segera dimulai. Kalaupun kemudian polemik masih dibuka kembali, maka yang diperdebatkan bukah lagi tentang persoalan harus-tidaknya dilaksanakan desentralisasi untuk kepentingan Hindia Belanda atau satuan-satuan daerahnya, melainkan sudah mengenai persoalan tentang isi De Wet Houdende Decentralistie van Het Bestuur in Nederlands-Indie tersebut, demi terwujudkannya secara benar desentralisasi di Hindia Belanda.

UU tahun berapa tentang pembentukan provinsi ?

Karena banyak kendala yang dihadapi dan dirasa kurang memuaskan karena hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah, UU desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui dengan peraturan baru yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming tahun 1922. Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian). Gubernur diangkat oleh gubernur jenderal dan gubernur juga berkedudukan sebagai ketua provinciale raad dan college van gedeputeerden. Di bawah UU baru di pulau Jawa dibentuk province (propinsi) dan regentschap (kabupaten) berikut dewannya. Sebaliknya dewan-dewan yang telah terbentuk di gewest (residentie) dilikuidasi. Kedudukan gemeente dipertahankan dengan perubahan sebutan menjadi stadsgemeente.

Pada tanggal 1 Januari 1926, Provincie West-Java atau yang disebut Pasoendan diresmikan dan mulai berfungsi. Provinsi itu melebur empat keresidenan lama yaitu Bantam, Batavia, Preanger dan Cheribon. Untuk selanjutnya, membawahi 9 nieuwe afdelingen atau yang juga disebut residentie nieuwe stijl dengan 18 otonome ontvoogde regentschappen. Tiga tahun kemudian pada tanggal 1 Januari 1929, Provinsi Oost Java diresmikan dan berfungsi. Setahun kemudian, tanggal 1 Januari 1930 datanglah giliran peresmian dan mulai difungsikannya Provinsi Midden-Java.

Pembentukan provinsi ini tidak terlepas dari ide dasar de Graff (Direktur Binnenlandsch Bestuur di Batavia) untuk membentuk tiga nieuwe gouvernementen (yang berhakikat sebagai grote Residenten) dan sejumlah nieuwe kleine residenten (yang berhahikat sebagai grote afdelingen).