Miris,
mungkin itu salah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi
persepakbolaan Indonesia saat ini. Kegagalan total dalam mengikuti ajang AFF
Cup 2012 tahun ini merupakan salah satu bentuknya. Dalam ajang AFF tahun ini,
Timnas Indonesia hanya mampu meraih satu kali kemenangan, satu kali imbang dan
satu kali kalah. Prestasi ini merupakan yang terburuk bagi Timnas Indonesia di sepanjang
keikutsertaannya di AFF Cup (dulu bernama Piala Tiger). Walaupun tak pernah
juara, setidaknya pencapaian Timnas Indonesia pada AFF yang lalu cukup bagus
yaitu empat kali runner up. Masing-masing tahun 2000, 2002, 2004 dan 2010. Kegagalan
di fase penyisihan grup ini merupakan salah satu yang terburuk setelah AFF
tahun 2007, sebelumnya pada tahun 2007 Timnas juga tidak lolos dari penyisihan.
Namun berbeda karena pada tahun 2007 Timnas tidak lolos karena kalah dalam
selisih gol, sedangkan pada AFF tahun ini karena perbedaan poin.
Hal yang paling menarik adalah bahwa kegagalan Timnas
pada ajang AFF Cup tahun ini bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya
kekisruhan dalam persepakbolaan Indonesia, yaitu perseteruan antara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pimpinan
Djohar Arifin Husein dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang
dikomandani oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti. Sebelum AFF Cup 2012 digelar,
kedua pengurus membentuk Timnas sendiri-sendiri. Timnas versi PSSI sebagian
besar terdiri dari pemain yang ikut berkompetisi di Indonesia Premiere League
(IPL) sedangkan Timnas versi KPSI terdiri dari pemain yang mengikuti kompetisi
Indonesia Super League (ISL). Namun Timnas versi KPSI mundur setelah AFF (ASEAN
Football Federation) menyatakan bahwa yang berhak mengikuti AFF Cup 2012 adalah
Timnas versi PSSI Djohar Arifin Husein. Tidak disahkannnya Timnas versi KPSI
ini justru menjadi petaka bagi Indonesia karena KPSI sempat tidak mengizinkan
pemain-pemainnya untuk membela Timnas yang berlaga untuk AFF Cup 2012. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa Timnas Indonesia yang berlaga pada AFF Cup 2012 bukan
merupakan kekuatan Timnas sesungguhnya.
Apabila kita sedikit menarik benang merah ke
belakang, sebenarnya perseteruan antara PSSI dan KPSI muncul ke permukaan
ketika bagaimana menentukan format kompetisi pasca penggulingan Nurdin Halid
dari kursi Ketua Umum PSSI. Saat itu, Komite Eksekutif PSSI menetapkan
kompetisi 2011-2012 diikuti 24 klub, dalam format Indonesia Premiere League
(IPL). IPL berbeda dari Liga Primer Indonesia (LPI) yang pernah dibentuk Arifin
Panigoro pada musim kompetisi 2010-2011 sebagai tandingan Indonesia Super
League milik PSSI era Nurdin Halid. Ketika menentukan format kompetisi, pihak
La Nyalla bersikukuh bahwa liga harus diikuti 18 klub, sesuai dengan hasil
Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo, Jawa Tengah, 9 Juli 2011. Sedangkan kubu
Djohar menyatakan, KLB Solo tidak menentukan liga harus diikuti 18 klub. Pihak
La Nyalla, yang dianggap sebagai orang kepercayaan Nirwan Bakrie, kukuh
mempertahankan liga di bawah pengelolaan PT Liga Indonesia (LI). Dalam Kongres
PSSI di Bali pada 2011, diam-diam PT LI mengambil alih 99% saham PSSI di PT LI
dan menyisakan 1% saham saja milik PSSI. Inilah yang dijadikan alasan CEO PT
LI, Djoko Driyono, menolak permintaan PSSI untuk mengadakan RUPS dan
menyerahkan laporan keuangan PT LI ke PSSI.
Selanjutnya, karena penolakan format kompetisi baru
yang dinyatakan oleh La Nyalla akhirnya PSSI mencabut mandat PT LI dan
membentuk PT Liga Prima Indonesia Sportindo untuk menggulirkan IPL yang diikuti
16 klub. Di sisi lain, PT LI yang merasa masih memiliki 99% saham liga jalan
sendiri dengan format ISL yang diikuti 18 klub. Dualisme kompetisi pun terjadi,
yang kemudian diikuti dualisme kepengurusan sepakbola. La Nyalla dan tiga exco
PSSI yang dipecat menggelar KLB Ancol dan membentuk Komite Penyelamat Sepak
Bola Indonesia (KPSI) sebagai tandingan PSSI. Dua kompetisi itu pun menginduk
ke masing-masing organisasi tersebut. IPL bergulir di bawah naungan PSSI yang
disokong Arifin Panigoro, sedangkan ISL bergulir karena dukungan mantan Wakil
Ketua Umum PSSI, Nirwan Bakrie. Bahkan pertandingan ISL saat itu disiarkan
langsung oleh ANTV, stasiun layar kaca milik keluarga Bakrie. Sangat jelas
bahwa dalam hal ini ranah politik sudah memasuki dan menggerogoti
persepakbolaan Indonesia.
Berbagai cara dilakukan untuk mendamaikan keduanya,
mulai dari usaha perdamaian yang dilakukan oleh FIFA dan AFC di Kuala Lumpur
yang menghasilkan nota kesepahaman (MoU). Dalam MoU itu disebutkan, PSSI setuju
mengembalikan empat orang yang didepak dari PSSI, yaitu anggota komite
eksekutif : La Nyalla Mattalitti, Roberto Rouw, Erwin Dwi Budiawan dan Tony
Aprilani. ISL setuju segera di bawah yurisdiksi PSSI, khususnya terkait masalah
disiplin, administrasi dan transfer pemain serta pengangkatan ofisial
pertandingan. Kedua belah pihak juga menyetujui, KPSI akan dibubarkan setelah
Kongres PSSI yang akan datang. Mereka pun setuju membentuk Joint Committee
PSSI, yang terdiri dari anggota masing-masing pihak guna mengevaluasi IPL dan
ISL untuk menciptakan hanya satu liga sepak bola di Indonesia. Namun seakan
semua yang dilakukan sia-sia karena sampai saat ini masih terjadi kekisruhan
dalam persepakbolaan Indonesia. Bahkan kekisruhan terakhir yang terjadi adalah
ketika kedua belah pihak melaksanakan kongres untuk memajukan sepakbola
nasional pada hari Senin, 10 Desember 12 kemarin di tempat yang berbeda. PSSI
hasil Kongres Luar Biasa Ancol pimpinan La Nyalla Mattalitti menggelar kongres
di Ballroom Hotel Sultan Jakarta dengan dihadiri oleh 83 pemilik suara (voter) hasil KLB Solo,
9 Juli 2011. Sedangkan PSSI pimpinan Djohar Arifin Husein menggelarnya di Hotel
Aquarius Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang dihadiri juga oleh pihak FIFA dan
AFC. Namun kongres PSSI pimpinan Djohar Arifin ini mengalami sedikit masalah
karena tidak diperbolehkan masuk oleh pihak Polda setempat karena tidak ada
rekomendasi dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun mereka tetap menggelar
kongres di lobi hotel dan menghasilkan keputusan yaitu pembatalan nota
kesepahaman (MoU) dengan KPSI dan membubarkan Joint Committee. FIFA sempat
mengancam akan memberikan sanksi kepada Indonesia apabila tidak mampu
menyelesaikan kekisruhan, namun akhirnya berdasarkan hasil rapat Komite
Eksekutif FIFA di Jepang pada hari Jum’at, 14 Desember 2012 kemarin sanksi itu
ditunda dan diberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menyelesaikan masalah
tersebut selama tiga bulan. Hasil dari sidang Komite Eksekutif FIFA tersebut
adalah yang pertama, menyerahkan penyelesaian dualisme induk sepakbola
Indonesia kepada AFC. Yang kedua adalah Exco (Komite Eksekutif) FIFA akan
menggelar rapat lagi pada 13 Februari 2013 dan yang terakhir adalah memberikan deadline
(batas waktu) kepada PSSI untuk menyelesaikan dualisme induk sepakbola
Indonesia pada 30 Maret 2013.
Sebenarnya masalah dualisme itu bukannya tidak bisa
diselesaikan, namun karena kedua belah pihak yaitu PSSI dan KPSI sama-sama
egois dan merasa bahwa mereka masing-masing yang paling benar maka sangat sulit
untuk mendamaikannya. Mereka hanya mementingkan kepentingan masing-masing dan
tidak menghiraukan masalah yang ditimbulkannya. Apabila sudah seperti ini maka
yang dirugikan adalah masyarakat, masyarakat yang rindu akan prestasi Timnas
Indonesia Sudah semestinya PSSI dan KPSI bersatu untuk membentuk Timnas yang
tangguh. Kemudian pengusaha besar yang punya komitmen terhadap perkembangan
sepakbola nasional, seperti Nirwan Bakrie yang notabenenya adalah orang dibalik
KPSI dan Arifin Panigoro yang sangat pro dengan PSSI Djohar Arifin Husein sudah
seharusnya bergandeng tangan demi memajukan sepakbola Indonesia, bukan malah
memanfaatkan sepakbola sebagai lahan bisnis maupun kepentingan politik.