Gerakan Entong Gendut di Condet
Oleh
:
Dede
Ismail[1]
Gerakan perlawanan oleh kaum petani
yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20
merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya
hampir semua perlawanan atau kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir
merupakan akibat dari adanya tuntutan pajak dan kerja rodi yang tidak adil
terhadap kaum petani di daerah itu. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan di
tanah partikelir sering disebut sebagai kerusuhan cuke, hal ini sesuai dengan
salah satu nama jenis pungutan pajak yang paling membebani di daerah itu.
Tanah-tanah
partikelir adalah tanah milik swasta yang muncul akibat praktik-praktik
penjualan oleh Kompeni (VOC 1602-1799). Kebijakan seperti itu kemudian
dilanjutkan oleh pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
(1808-1811) dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang
berlanjut sampai sekitar tahun 1820-an.[2]
Dalam
buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV juga dijelaskan bahwa tanah partikelir
timbul sebagai akibat adanya praktik-praktik penjualan tanah yang dilakukan
oleh Belanda semenjak permulaan zaman VOC sampai perempat pertama abad ke-19.
Tanah-tanah semacam itu terdapat di sekitar Batavia, Bogor, Banten, Karawang,
Cirebon, Semarang dan Surabaya. Alasan penyerahan tanah-tanah itu cukup
bervariasi. VOC misalnya, pada awalnya menyerahkan tanah dengan status tanah
partikelir dilandasi kepentingan politis. VOC banyak menghadiahkan tanah-tanah
itu kepada orang-orang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas ketenteraman
di sekitar Batavia, termasuk beberapa mantan pegawai atau perwira VOC dan dalam
jumlah kecil juga dihadiahkan kepada beberapa kepala penduduk pribumi yaitu
untuk mencari dukungan dari pihak-pihak atau tokoh-tokoh tertentu. Sementara
itu, tanah di sekitar Bogor menjadi milik pribadi para gubernur jenderal secara
berturut-turut. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles banyak
tanah dijual dengan status tanah partikelir karena pemerintahan waktu itu mmerlukan
banyak dana untuk reorganisasi dan rasionalisasi pemerintahan Hindia yang
justru dalam keadaan bangkrut.
Penjualan
tanah partikelir berbeda dengan penjualan tanah biasa seperti yang dikenal pada
masa kini. Pada penjualan itu yang diserahkan bukan hanya sebidang tanah dengan
berbagai jenis tanaman di atasnya, melainkan penyerahan suatu wilayah berikut
dengan penduduk yang hidup di atasnya. Kepemilikannya pun bersifat mutlak dalam
jangka waktu yang dapat dikatakan relatif tanpa batas. Selainitu, para pemiliknya
yang lazim disebut “tuan tanah” memperoleh hak-hak istimewa yang tiada lain
adalah hak-hak yang biasanya dipegang oleh pemerintah seperti hak fiskal dan
keamanan (kepolisian setempat). Mereka berhak menuntut sebagian hasil produksi
tanah garapan para petani dan berhak pula menuntut penyerahan tenaga kerja bagi
keperluan pribadinya seperti memetik buah, menggarap dan memelihara tanaman
atau mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan adanya
hak-hak istimewa itu tuan tanah melakukan eksploitasi tanah miliknya semaksimal
mungkin, bahkan tidak jarang pihak tuan tanah melakukan berbagai kecurangan
dengan cara memanipulasi reglemen dan kontrak kerja yang ada. Pada masa
Daendels dan Raffles telah diadakan perbaikan yaitu dengan adanya larangan
kepada tuan rumah untuk menerima sepersepuluh dari hasil tanah atau memungut
penyerahan tenaga kerja yang berat. Namun karena kontrol pemerintah terhadap
tanah partikelir pada umumnya sangat lemah, pelanggaran demi pelanggaran yang
dilakukan tuan tanah tetap terjadi sehingga menimbulkan kegelisahan dan
frustasi di kalangan para petani. Akibatnya terjadi perlawanan di beberapa
tanah partikelir seperti di Batavia dan Cirebon (1816), Candi Udik (1845),
Ciomas (1886) dan Campea (1892). Setelah itu semenjak tahun 1913 terjadi
pergolakan-pergolakan yang lebih umum dan mendalam, salah satunya adalah
gerakan perlawanan yang terjadi di Condet, Jakarta Timur pada tahun 1916.
Masa
penjajahan Belanda di awal abad ke-20 merupakan masa-masa penuh kepahitan bagi rakyat
yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat yang sebagian besar
hidup sebagai petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah
senantiasa berada dalam kondisi tertindas akibat berbagai kebijakan pajak
produk penguasa kolonial yang memihak tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut
harus dibayarkan oleh petani penggarap kepada tuan tanah setiap minggu dengan
jumlah yang sangat memberatkan bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi
penduduk yang tak mampu membayar pajak adalah melakukan kerja paksa
berupa penggarapan sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial dalam
jangka waktu sepekan.
Kondisi
yang demikian tentu memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap
penindasan sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat
berupa amarah, kebencian, bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan
kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi yang bernuansa kemarahan hingga
akhirnya diwujudkan dalam suatu perlawanan ialah reaksi yang ditampilkan oleh
Entong Gendut. Entong Gendut sendiri salah satu pendiri perguruan Silat Silau
Macan di daerah Condet, Jakarta Timur. Dia adalah seorang tokoh pendekar yang
juga terkenal dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang
merasakan kebencian serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan
secara terbuka.
Pemberontakan
yang terjadi di Condet ini berawal dari berlakunya peraturan baru tentang tanah
partikelir tahun 1912 yang dimana para tuan tanah melakukan pengadilan terhadap
petani-petani yang tidak dapat membayar pajak. Pada tahun 1913 telah dilakukan
pengadilan pula 2.000 perkara mengenai kegagalan dalam pembayaran sewa atau
pajak pekarangan ataupun penebusan pekerjaan kompenian. Hal yang sama juga
dilakukan pada tahun 1914 terhadap 500 perkara dan 300 perkara pada tahun 1915.
Akibatnya, banyak kaum petani yang mengalami kebangkrutan karena harta milik
mereka terpaksa disita dan dijual atau dibakar. Tidak bisa dipungkiri lagi
kalau hal ini menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang mendalam. Rasa dendam
itu menjadi semakin membara karena tuan tanah juga menaikkan pungutan pajak
disamping melakukan peradilan tersebut.
Peristiwa
pertama terjadi pada tanggal 14 Mei 1916, yaitu dengan diadilinya seorang
bernama Taba dari desa Batu Ampar di tanah partikelir Tanjung Oost. Pengadilan
dilakukan di Landraad (pengadilan distrik) Meester Cornelis (Jatinegara) yang
memutuskan bahwa Taba harus membayar f7,20 (7,20 gulden) dan ongkos perkaranya.
Pada tanggal 15 Maret 1916, ia diperingatkan bahwa apabila ia tidak dapat
membayar maka pihak yang berwajib akan menjual barang-barangnya yang disita.
Akibat tindakan itu, rakyat menuduh para kepala setempat mengabdi kepada
kepentingan orang Kristen, oleh karena itu harus dibunuh. Ketika petugas datang
ke tempat Taba untuk melaksanakan keputusan hukumannya yaitu pada tanggal 7
Maret 1916, banyak orang-orang berkumpul di rumah Jaimin yang terletak di
sebelah utara rumah Taba. Maksud mereka akan mencegah para Entong Gendut ada di
antara gerombolan orang-orang itu. Suara penghinaan dan doa-doa terdengar
tetapi tidak sampai terjadi kerusuhan lebih lanjut. Rumah Taba dijual seharga
f4,50 (4,50 gulden) dan dibeli Mandor Pirun pada tanggal 15 Maret 1916.[3]
Di
Batu Ampar, penduduk bergabung dengan perkumpulan beladiri yang dipergunakan untuk
melakukan pencegahan terhadap pegawai-pegawai pemerintah yang akan melaksanakan
keputusan-keputusan pengadilan distrik. Menurut laporan, pemimpin-pemimpinnya
adalah Entong Gendut, Maliki dan Modin. Ketiganya berasal dari Batu Ampar.
Delapan orang wazir dan dua orang prajurit diangkat. Dalam perkumpulan itu
telah terdaftar lebih kurang 400 anggota, diantaranya adalah Haji Amat Awab,
Said Keramat dan Dullah. Tampak juga beberapa orang Arab mempunyai hubungan
rahasia dengan perkumpulan itu, yaitu Said Taba bin Akhmad Al Hadat dan Said
Muksin bin Akhmad Alatas dari Cawang serta Said Umar bin Alaydrus dari
Cililitan.
Peristiwa
yang kedua terjadi pada tanggal 5 April 1916, yaitu ketika Entong Gendut
memimpin segerombolan orang-orang berkerumun di depan Villa Nova, rumah Lady
Rollinson, pemilik tanah partikelir Cililitan Besar. Pada waktu itu disana ada
pertunjukan tarian topeng. Pada sore harinya tuan tanah Tanjung Oost, Ament
dilempari dengan batu ketika ia sedang naik mobil melalui barat daya sebuah
jembatan. Sementara itu, pertunjukan topeng terus berlangsung tanpa ada
gangguan sampai kira-kira pukul 11 yaitu ketika terdengar perintah-perintah
untuk menghentikan pertunjukan. Entong Gendutlah yang menyuruh orang-orang
supaya bubar dan pulang ke rumah. Gerombolan itu bubar tanpa menimbulkan
kerusuhan.[4]
Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat
keamanan Belanda di Batavia.
Berbagai
upaya dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut. Pada
tanggal 9 dan 10 April 1916 rumah Entong Gendut digrebek oleh sepasukan petugas
pemerintah di bawah pimpinan Wedana untuk menangkapnya. Setelah diminta agar
diizinkan keluar dari dalam rumah, Entong Gendut Gendut segera menampakkan diri
sambil membawa benda panjang yang dibungkus dengan kain putih (mungkin tombak),
keris dan bendera merah dengan gambar bintang sabit berwarna putih. Kemudian
dengan suara lantang ia mengatakan bahawa ia adalah raja dan tidak perlu tunduk
kepada siapa pun, baik kepada hukum atau kepada Belanda. Setelah memberi
aba-aba panggilan kepada anak buahnya, keluarlah beberapa orang dari
semak-semak dan terus menerus menyerbu para petugas pemerintah yang mengepung
mereka. Mereka semuanya bersenjata, jumlahnya kurang lebih 200 orang. Rombongan
Wedana dan polisi kampung dikepung. Karena terancam, rombongan Wedana dan
polisi itu bubar menyelamatkan diri dan bersembunyi. Wedana yang bersembunyi
akhirnya tertangkap dan ditawan oleh Entong Gendut.
Tidak
lama kemudian, pasukan bantuan di bawah pimpinan Asisten Residen datang
menyelamatkan Wedana dan menyerbu tempat para pengikut Entong Gendut.
Kedatangan pasukan ini disambut oleh para pengikut Entong Gendut dengan
teriakan-teriakan, “Sabilillah tidak takut!”. Mereka datang secara bergelombang
dengan membawa bendera merah sambil memainkan gerakan-gerakan ilmu silat.
Karena para kaum pengikut Entong tidak mengindahkan peringatan dari pasukan
pemerintah, akhirnya pasukan pemerintah menembakinya. Kerusuhan berakhir
setelah para pengikut Entong Gendut cerai-berai dan lari menyelamatkan diri.
Entong Gendut sendiri jatuh tertembak dan akhirnya meninggal karena lukanya
cukup parah.[5]
Dengan matinya Entong Gendut dan ditawannya pengikut-pengikutnya itu, maka
pemberontakan itu dapat dipatahkan.
Seperti
di daerah tanah partikelir lainnya, ketidakadilan, kemiskinan dan
kemelaratanlah yang menyebabkan petani-petani di Condet, Tanjung Oost melakukan
perlawanan. Tindakan tuan tanah telah membuat beratus-ratus petani kehilangan
tanah, rumah, bahkan juga kebebasan. Sistem pemilikan tanah partikelir dalam
masyarakat modern dengan meluasnya sistem ekonomi uang telah melumpuhkan
kehidupan petani. Oleh karena itu dengan adanya kemelaratan maka kejahatan
meningkat. Meningkatnya perampokan misalnya, dapat dihubungkan dengan
meningkatnya protes sosial yang tidak terorganisasi. Perlawanan yang dikerahkan
oleh Entong Gendut dan para pengikutnya tak lain adalah usaha dalam
mengembalikan hak para petani dan warganya terhadap sistem pajak dan
kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dan tuan tanah terhadap penduduk.
Meskipun terbilang frontal, namun Entong Gendut dan pengikutnya tidak secara
habis-habisan dalam menghukum pemerintah kolonial maupun antek-anteknya. Ini
terbukti dia melepaskan kembali tawanannya kepada pemerintah kolonial meskipun
dalam keadaan yang cukup berbahaya. Entong Gendut tewas sebagai pengacau bagi
penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di Condet khususnya dan
Batavia pada umumnya.
DAFTAR
SUMBER
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ruchiat, Rachmat. 2011. Asal Usul Nama Tempat di Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.
[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas
Padjadjaran
[2]
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia,
Jakarta, 2008, hlm. 400
[3]
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia,
Jakarta, 2008, hlm. 414
[4]
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia,
Jakarta, 2008, hlm. 415
[5]
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia,
Jakarta, 2008, hlm. 416