Eksistensi Budaya Indonesia Dalam Arus Globalisasi Dilihat Dari Kacamata Filsafat Sejarah
Oleh : Dede Ismail[1]
Untuk download file PDF nya klik disini download
Kebudayaan
adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan
miliknya dengan belajar.[2] Menurut Anthony Giddens, globalisasi adalah intensifikasi
relasi-relasi sosial mendunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan
sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seberang jauh dan begitupun sebaliknya.
Globalisasi merobohkan konsep ruang dan waktu konvensional yang mengarah pada
restrukturisasi tata kelola kehidupan secara mendalam, nyaris pada setiap aspek
kehidupan. Dimulai dari Barat dan kemudian menerpa semua bagian dunia.
Kebudayaan Indonesia yaitu seluruh ciri khas suatu daerah yang ada sebelum
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang termasuk kebudayaan
Indonesia itu adalah seluruh kebudayaan lokal dari berbagai macam suku di
Indonesia. Walaupun
kebudayaan Indonesia beraneka ragam, namun pada dasarnya kebudayaan Indonesia itu terbentuk dan
dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa,
kebudayaan India dan kebudayaan Arab.
Era
globalisasi telah merasuk pada berbagai sendi kehidupan masyarakat, dampaknya
dapat mengubah berbagai tatanan termasuk kehidupan. Desakan global dapat memberikan
dampak terhadap kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu perlu upaya dalam menjaga
jati diri bangsa. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi
serta derasnya arus komunikasi dewasa ini berdampak pada perubahan zaman yang
cepat pula. Era globalisasi merambah pada semua bangsa dan tidak satu pun
bangsa yang terbebas dari pengaruh globalisasi termasuk Indonesia.
Di
tengah arus pusaran globalisasi versus lokalisasi, strategi kebudayaan Indonesia
harus dapat mengambil unsur-unsur positif dari kedua sumber kekuatan
kebudayaaan itu dengan cara melakukan penyerbukan silang budaya antara global
vision dan local widom. Penyerbukan unsur-unsur positif antara arus globalisasi
dan lokalisasi ini dikenal dengan istilah glokalisasi. Sifat masyarakat
Indonesia yang lentur dalam menerima pengaruh global dapat bersifat positif
maupun negatif. Bagian positifnya adalah apabila yang diserap adalah unsur-unsur
positif-konstruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang
menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Negatifnya
adalah apabila yang diserap adalah unsur-unsur negatif-destruktif menurut
nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menimbulkan ketergantungan,
permusuhan dan ketidakadilan. Oleh karena itu diperlukan suatu seleksi guna
mencegah unsur-unsur negatif yang masuk yang dapat menghilangkan kebudayaan
lokal.
Terkait
dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan ini tentunya berkaitan
dengan gerak sejarah. Gerak sejarah adalah suatu alur yang menggambarkan
bagaimana jalannya proses sejarah, yaitu berupa suatu pola kejadian dalam
berbagai peristiwa kehidupan manusia.[3]
Dalam
pembahasan mengenai filsafat sejarah, terdapat dua alur yang berbeda yaitu filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis. Filsafat
sejarah spekulatif adalah filsafat sejarah yang berupaya untuk memandang proses
sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa
untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Dalam filsafat sejarah
spekulatif, biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab seperti “Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu?
Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu? Apakah proses akhir
tujuan sejarah?”. Dasar yang digunakan para filsuf sejarah spekulatif untuk
menafsirkan proses sejarah sangat bermacam-macam. Ada yang menafsirkan atas
dasar pertimbangan empiris, metafisis dan juga religius. Karena dasar yang
digunakan berbeda-beda, tentu saja bentuk dan hasil tafsiran mereka pun
berbeda-beda. Tokoh-tokoh filsafat sejarah spekulatif yang terkenal ialah
Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Josep
Toynbee (1889-1975). Filsafat sejarah kritis adalah filsafat sejarah yang tidak
memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikirkan
masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang
digunakan oleh sejarawan dan sebagainya. Hal-hal yang dipertanyakan dalam
filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran
menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual. Pada
umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting yaitu mengenai
logisitas eksplanasi yang diketengahkan oleh sejarawan profesioanal dan status
epistemologis narasi sejarah masa silam. Dalam filsafat sejarah kritis muncul
pertanyaan “Bagaimanakan sifat logis
eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarawan? Apakah narasi
sejarah memiliki validitas objektif?”. Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis
ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George
Collingwood (1889-1943).[4]
Dari
kedua pembahasan mengenai filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah
kritis ini, gerak sejarah termasuk ke dalam pembahasan filsafat sejarah
spekulatif.
Filsafat
Sejarah Spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau
sifat-sifat gerak sejarah, sehingga diketahui srtruktur-dalam yang
terkandung dalam proses gerak sejarah dalam keseluruhannya. Menurut Ankersmit
(1987: 17), umumnya terdapat tiga hal yang menjadi kajian filsafat sejarah spekulatif,
yaitu pola
gerak sejarah, motor yang menggerakkan
proses sejarah, dan tujuan gerak sejarah.[5]
Menurut Toynbee gerak sejarah
berjalan melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut :
1)
genesis
of civilizations – lahirnya kebudayaan
2)
growth
of civilizations – perkembangan kebudayaan
3)
decline
of civilizations – keruntuhan kebudayaan
·
breakdown
of civilizations – kemerosotan kebudayaan
·
disintegration
of civilizations – kehancuran kebudayaan
·
dissolution
of civilizations – hilang dan lenyapnya kebudayaan
Pertumbuhan dan perkembangan
suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik-pemilik kebudayaan
tersebut. Jumlah kecil tersebut menciptakan kebudayaan dan massa meniru. Tanpa
meniru yang kuat dan dapat mencipta maka suatu kebudayaan tidak dapat
berkembang.
Pola
gerak sejarah yang terdapat pada pembahasan ini adalah pola gerak sejarah maju (progressif)
dan mundur (regressif). Tidak bisa kita pungkiri kalau globalisasi tentunya
dapat mempengaruhi seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia termasuk
budaya. Dengan adanya globalisasi memberikan dampak positif maupun negatif.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa sifat
masyarakat Indonesia yang lentur dalam menerima pengaruh global dapat bersifat
positif maupun negatif. Bagian positifnya adalah apabila yang diserap adalah
unsur-unsur positif-konstruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab yang menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial
maka bisa dikatakan sebagai pola progressif. Sedangkan negatifnya adalah apabila
yang diserap adalah unsur-unsur negatif-destruktif menurut nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab yang menimbulkan ketergantungan, permusuhan
dan ketidakadilan sahingga hal ini merupakan sesuatu yang regressif.
Sedangkan motor yang
menggerakkan sejarah dalam masalah ini adalah karena berkembang pesatnya
teknologi yang ada di Barat, perkembangan teknologi tersebut secara perlahan
memasuki Indonesia. Kebudayaan Barat masuk
ke Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kerana adanya
krisis globalisasi yang telah meracuni sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Barat berjalan sangat cepat dan menyeluruh dan menimbulkan
pengaruh yang sangat luas pada sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Perkembangan teknologi dan masuknya budaya Barat ke Indonesia, tanpa disadari
secara perlahan telah menghancurkan kebudayaan bangsa Indonesia. Rendahnya
pengetahuan menyebabkan akulturasi kebudayaan yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam kebudayaan bangsa Indonesia.
Masuknya kebudayaan Barat tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima apa
adanya, mengakibatkan terjadinya degradasi yang sangat luar biasa terhadap
kebudayaan asli.
Kemudian yang terakhir adalah mengenai tujuan gerak
sejarah. Tujuan gerak sejarah dalam masalah ini adalah memberikan pengaruh,
perubahan bahkan dapat menyebabkan hilangnya budaya Indonesia. Pengaruh globalisasi
disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang negatif bagi kebudayaan bangsa
Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan
sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian
budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi dan Teknologi) mengakibatkan
berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri. Budaya
Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan
budaya Barat, misalnya pergaulan bebas. Norma-norma yang terkandung dalam
kebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar.
Referensi
:
Ibrahim, Idi Subandy. Life Style Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas.
Koentjaraningrat.
2007. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Lubis, Mochtar.
2008. Manusia Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.