Minggu, 04 November 2012

Eksistensi Budaya Indonesia



Eksistensi Budaya Indonesia Dalam Arus Globalisasi Dilihat Dari Kacamata Filsafat Sejarah

Oleh : Dede Ismail[1] 


Untuk download file PDF nya klik disini download




Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.[2] Menurut Anthony Giddens, globalisasi adalah intensifikasi relasi-relasi sosial mendunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di seberang jauh dan begitupun sebaliknya. Globalisasi merobohkan konsep ruang dan waktu konvensional yang mengarah pada restrukturisasi tata kelola kehidupan secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Dimulai dari Barat dan kemudian menerpa semua bagian dunia.

Kebudayaan Indonesia yaitu seluruh ciri khas suatu daerah yang ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang termasuk kebudayaan Indonesia itu adalah seluruh kebudayaan lokal dari berbagai macam suku di Indonesia. Walaupun kebudayaan Indonesia beraneka ragam, namun pada dasarnya kebudayaan Indonesia itu terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab.

Era globalisasi telah merasuk pada berbagai sendi kehidupan masyarakat, dampaknya dapat mengubah berbagai tatanan termasuk kehidupan. Desakan global dapat memberikan dampak terhadap kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu perlu upaya dalam menjaga jati diri bangsa. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta derasnya arus komunikasi dewasa ini berdampak pada perubahan zaman yang cepat pula. Era globalisasi merambah pada semua bangsa dan tidak satu pun bangsa yang terbebas dari pengaruh globalisasi termasuk Indonesia.

Di tengah arus pusaran globalisasi versus lokalisasi, strategi kebudayaan Indonesia harus dapat mengambil unsur-unsur positif dari kedua sumber kekuatan kebudayaaan itu dengan cara melakukan penyerbukan silang budaya antara global vision dan local widom. Penyerbukan unsur-unsur positif antara arus globalisasi dan lokalisasi ini dikenal dengan istilah glokalisasi. Sifat masyarakat Indonesia yang lentur dalam menerima pengaruh global dapat bersifat positif maupun negatif. Bagian positifnya adalah apabila yang diserap adalah unsur-unsur positif-konstruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Negatifnya adalah apabila yang diserap adalah unsur-unsur negatif-destruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menimbulkan ketergantungan, permusuhan dan ketidakadilan. Oleh karena itu diperlukan suatu seleksi guna mencegah unsur-unsur negatif yang masuk yang dapat menghilangkan kebudayaan lokal.

Terkait dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan ini tentunya berkaitan dengan gerak sejarah. Gerak sejarah adalah suatu alur yang menggambarkan bagaimana jalannya proses sejarah, yaitu berupa suatu pola kejadian dalam berbagai peristiwa kehidupan manusia.[3]

Dalam pembahasan mengenai filsafat sejarah, terdapat dua alur yang berbeda yaitu filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah spekulatif adalah filsafat sejarah yang berupaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Dalam filsafat sejarah spekulatif, biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab seperti “Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu? Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu? Apakah proses akhir tujuan sejarah?”. Dasar yang digunakan para filsuf sejarah spekulatif untuk menafsirkan proses sejarah sangat bermacam-macam. Ada yang menafsirkan atas dasar pertimbangan empiris, metafisis dan juga religius. Karena dasar yang digunakan berbeda-beda, tentu saja bentuk dan hasil tafsiran mereka pun berbeda-beda. Tokoh-tokoh filsafat sejarah spekulatif yang terkenal ialah Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Josep Toynbee (1889-1975). Filsafat sejarah kritis adalah filsafat sejarah yang tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarawan dan sebagainya. Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting yaitu mengenai logisitas eksplanasi yang diketengahkan oleh sejarawan profesioanal dan status epistemologis narasi sejarah masa silam. Dalam filsafat sejarah kritis muncul pertanyaan “Bagaimanakan sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarawan? Apakah narasi sejarah memiliki validitas objektif?”. Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George Collingwood (1889-1943).[4]

Dari kedua pembahasan mengenai filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis ini, gerak sejarah termasuk ke dalam pembahasan filsafat sejarah spekulatif.

Filsafat Sejarah Spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau sifat-sifat gerak sejarah, sehingga diketahui srtruktur-dalam  yang terkandung dalam proses gerak sejarah dalam keseluruhannya. Menurut Ankersmit (1987: 17), umumnya terdapat tiga hal yang menjadi kajian filsafat sejarah spekulatif, yaitu pola gerak sejarah, motor yang menggerakkan proses sejarah, dan tujuan gerak sejarah.[5]

Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut :


      1)      genesis of civilizations – lahirnya kebudayaan
      2)      growth  of civilizations – perkembangan kebudayaan
      3)      decline of civilizations – keruntuhan kebudayaan
·         breakdown of civilizations – kemerosotan kebudayaan
·         disintegration of civilizations – kehancuran kebudayaan
·         dissolution of civilizations – hilang dan lenyapnya kebudayaan

Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik-pemilik kebudayaan tersebut. Jumlah kecil tersebut menciptakan kebudayaan dan massa meniru. Tanpa meniru yang kuat dan dapat mencipta maka suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.

Pola gerak sejarah yang terdapat pada pembahasan ini adalah pola gerak sejarah maju (progressif) dan mundur (regressif). Tidak bisa kita pungkiri kalau globalisasi tentunya dapat mempengaruhi seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia termasuk budaya. Dengan adanya globalisasi memberikan dampak positif maupun negatif. Seperti yang telah dijelaskan bahwa sifat masyarakat Indonesia yang lentur dalam menerima pengaruh global dapat bersifat positif maupun negatif. Bagian positifnya adalah apabila yang diserap adalah unsur-unsur positif-konstruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menguatkan cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial maka bisa dikatakan sebagai pola progressif. Sedangkan negatifnya adalah apabila yang diserap adalah unsur-unsur negatif-destruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menimbulkan ketergantungan, permusuhan dan ketidakadilan sahingga hal ini merupakan sesuatu yang regressif.

Sedangkan motor yang menggerakkan sejarah dalam masalah ini adalah karena berkembang pesatnya teknologi yang ada di Barat, perkembangan teknologi tersebut secara perlahan memasuki Indonesia. Kebudayaan Barat masuk ke Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kerana adanya krisis globalisasi yang telah meracuni sebagian besar masyarakat Indonesia. Pengaruh kebudayaan Barat berjalan sangat cepat dan menyeluruh dan menimbulkan pengaruh yang sangat luas pada sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Perkembangan teknologi dan masuknya budaya Barat ke Indonesia, tanpa disadari secara perlahan telah menghancurkan kebudayaan bangsa Indonesia. Rendahnya pengetahuan menyebabkan akulturasi kebudayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Masuknya kebudayaan Barat tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima apa adanya, mengakibatkan terjadinya degradasi yang sangat luar biasa terhadap kebudayaan asli.

Kemudian yang terakhir adalah mengenai tujuan gerak sejarah. Tujuan gerak sejarah dalam masalah ini adalah memberikan pengaruh, perubahan bahkan dapat menyebabkan hilangnya budaya Indonesia. Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang negatif bagi kebudayaan bangsa Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi dan Teknologi) mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri. Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya Barat, misalnya pergaulan bebas. Norma-norma yang terkandung dalam kebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar.

Referensi :

Ibrahim, Idi Subandy. Life Style Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Lubis, Mochtar. 2008. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
[2] Koentjaraningrat., hal. 72
[3] http://ipsb2011.wordpress.com/2012/05/07/gerak-sejarah/
[4] Rapar., Hal. 84
[5] http://mumuhmz.wordpress.com/2011/09/21/filsafat-sejarah-pendahuluan/